Rabu, 13 Mei 2020

Mengubah Rutinitas Memaafkan Menjadi Kemuliaan



R. Purwantaka

*“ Mengubah Rutinitas Memaafkan Menjadi Kemuliaan”*

(“ Apakah kita akan menjadi Manusia Fiqh, Manusia Akhlaq, Manusia Taqwa ? (Cak Nun )

 

Bukankah ada seorang sahabat yang dijamin masuk surga karena selalu memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh orang-orang kepadanya setiap sebelum tidur? Orang yang berjiwa besar adalah orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain walaupun betapa sakit hati ketika kesalahan itu dilakukan ke atas dirinya karena menyadari bahwa memaafkan juga meraih kasih sayang Allah SWT. Bukankah Allah memiliki nama “Al-Afuwwu” – Maha Pemaaf-, maka ketika kita memaafkan kesalahan orang lain kita sedang berusaha mendekatkan diri dengan Sang Maha Pemaaf.


 Allah saja menyediakan empat sifat pemaaf, bagaimana mungkin manusia memiliki kepantasan untuk tidak memaafkan sesamanya? Pada lapisan hukum atau fiqh agama, memaafkan bukan kewajiban, melainkan dianjurkan dengan sangat, dengan tujuan agar manusia menapaki kemungkinan untuk meningkat kebesaran jiwa dan kemuliaan hidup.

Akan tetapi pada tataran moral, memaafkan itu “wajib” karena akal pikiran dan rasa kebersatuan antar manusia menyimpulkannya demikian. menaikkan derajat manusia dari fiqh ke akhlaq, agar mencapai puncaknya, yakni taqwa. manusia taqwa, Anda akan menemukan kenikmatan yang tidak bisa dibayangkan oleh segala daya upaya akal maupun pengimajinasian perasaan.

Memaafkan adalah kontrak abadi kehidupan, karena betapa malunya  di hadapan Allah kalau sampai tidak  memaafkan yang Ia sendiri begitu sangat pemurah untuk memaafkan. Orang yang baik itu adalah orang mampu memaafkan orang lain. Karena memaafkan itu adalah salah satu sifat yang mulia. Karena itu, lapangkan hati untuk memaafkan orang yang pernah menyakiti dan mendzolimi diri kita.


Referensi .
Buku Tuhan pun “Berpuasa”, 1997, diterbitkan oleh Penerbit Zaituna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar