Rabu, 06 Mei 2020

Derajat Taqwa


*”BEREMPATI DALAM DERAJAT TAQWA “*
*Oleh : Ustadz Taka*

Apa itu takwa sebagai tujuan berpuasa? Singkatnya, hakikat taqwa adalah kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus, selalu waspada, serta berhati-hati jangan sampai kena duri jalanan. Jalan kehidupan memang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatitan dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan.

            Dalam Surat Al’Aadiyaat ayat 8, Allah memperingatkan manusia,
ا لَشَدِیۡدٌ ؕلۡخَیۡرِ لِحُبِّ اِنَّہٗوَ “Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta”. Nabi Muhammad SAW memperingatkan kecenderungan serakahnya manusia, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, sebagai berikut, “Andaikata seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah, tentu ia akan berusaha memiliki dua lembah. Dan andaikata ia telah memiliki dua lembah, tentu ia akan berusaha untuk memiliki tiga lembah. Memang tidak ada yang dapat memenuhi kehendak anak Adam melainkan tanah”.

            PUASA mengajarkan kita untuk berempati kepada fakir miskin. Dengan menjalankan puasa, seorang yang mampu secara ekonomi merasakan lapar dan dahaga yang kerap dialami mereka yang serba kekurangan. Dengan demikian, puasa diharapkan dapat mengasah dan membentuk solidaritas sosial. Dalam bulan Ramadhan, kaum muslim di seluruh dunia serentak menjalankan ibadah ini sehingga secara simbolik menjadikannya sebagai gerakan sosial yang menyatukan kaum muslim.
            Padahal orang-orang miskin berperan besar dalam menopang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor, berat, atau berbahaya. Mereka bekerja dengan upah yang rendah untuk mengumpulkan sampah, membersihkan selokan, menghasilkan berbagai produk di pabrik-pabrik yang dibutuhkan masyarakat, atau membangun gedung-gedung tinggi. Karena dibayar murah, orang-orang miskin ini bahkan membantu melipatgandakan pendapatan orang-orang kaya dengan mengurangi biaya produksi usaha-usaha ekonomi mereka. Oleh karena itu, Allah Swt mengingatkan:  
“Dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.” (QS. Al-Ma’arij: 24-25).
            Dengan kembali kepada fitrah secara individual-personal, sepatutnya setiap pribadi Muslim memperluas kesucian atau fitrah itu dari hubungan manusia dengan Allah Subhanahu Wata’ala kepada kehidupan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demi meretaskan jalan untuk menyongsong masa depan bangsa Indonesia yang adil, sejahtera, bermartabat dan diridhai Allah Subhanahu Wata’ala. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
            Sesungguhnya, tingkat kemiskinan itu tidak akan berpengaruh apa-apa bagi negeri ini jika para aghniya (Muslim yang berpunya) itu memahami urgensi ber-ZISWAF (zakat, infaq, sadhaqah dan waqaf) lalu mengejawantahkannya dalam kehidupan sosial mereka. Sebab, zakat  itu, juga sumber filantrofi islam lainnya (infaq, sadhaqah dan waqaf) mampu menghidupkan kembali optimisme yang telah berada di titik nadir, seperti yang sedang terjadi di negeri ini. “Zakatuka hayatuhum”, demikian fuqaha kontemporer mengatakan.

Sujudku pada Mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar