Senin, 15 November 2021

Sang Jendral ( oleh: Pak Taka )

 

Sang Jendral

( Pak Taka 2019 )

 

Sang jemdral *3 itu Kalah perang

Bukan karena letusan senjata

Bukan karena serbuan gemuruh Tank

Bukan karena gempuran Roket pesawat Skyhawk

Bukan pula karena terkena dentuman meriam

Bukan karena ledakan bom

Bukan karena desing rudal

 

Tetapi sang jendral

dikalahkan oleh tusukan-tusukan paku suara rakyat

dari bilik-bilik kecil

 

Sang jendral tak lagi ingin melihat

Tak pula ingin mendengar

Memilih berlari lalu sembunyi

( Tamat )

 

Sang jendral lari mendekat sang illahi

Mohon ampun atas salah diri

Dan ... kembali dengan hati suci

Semoga Alloh ampuni dosa sang jendral ini

 

Tak boleh berburuk sangka

Sang jendral lari bukan untuk bunuh diri

Bukan pula lari karena sakit hati

Apalagi sembunyi karena iri

 

Tak boleh berburuk sangka

Sang jendral sembunyi karena takut dan malu  diri

 

Semoga sang jendral tahu diri

Lalu mengacungkan ibu jari

Da... berucap “ salam dua jari “

Tidurlah Ayah ( Oleh : Pak Taka )

 Tidurlah Ayah


Kamar itu masih terbuka pintunya

Kulihat Ayah tergolek dengan pulas

Dengusan nafasnya lembut


Kupandangi Ayah dari pintu kamar

“Tidurlah Ayah………………….”

“ Akan aku jaga di sampingmu, agar Ayah dapat melupakan sejenak

Kepenatan dan kesedihan “


“ Tidurlah Ayah…………………”

“ Walaupun aku tahu dalam tidurmu masih Ayah simpan sebuah rahasia”

“ walaupun  aku tahu dalam tidurmu, Ayah masih merasakan kesedihan yang mendalam”


Kulihat raut mukanya tenang.

Setenang ketika menghadapi masalahmu

Setenang Ayah saat berbicara meyakinkan aku


Tidurlah Ayah…………………………………….



R. Purwantaka

Dalam  Antologi Penaku Menari Sendiri


Wanita ( Oleh : Pak Taka )

 Wanita


Aku mengerti tentang wanita karena aku seorang wanita

Aku akan lebih mengerti tentang wanita karena Ibuku mengajarkanku tentang wanita


Yang aku lebih mengerti tentang wanita karena aku sangat mengenal Ibuku

Dan lebih paham tentang wanita , ya, disebut wanita karena pengabdiannya.



R. Purwantaka

Dalam  Antologi Penaku Menari Sendiri


Lelaki ( Pak Taka )

 



Lelaki



Aku tak paham seperti apa yang disebut lelaki

Juga tak pernah mengerti pria seperti apa yang disebut lelaki


Yang ku tahu lelaki adalah seperti Ayahku

Juga yang kupaham seorang pria disebut lelaki adalah tanggungjawabnya.



R. Purwantaka

Dalam  Antologi Penaku Menari Sendiri


Minggu, 14 November 2021

Tangan-tangan Kecil ( Oleh : Pak Taka )

 

Tangan-tangan Kecil

( Pak  Taka )

 

 

Tangan – tangan kecil melambaikan bendera merah putih

Berbaris rapi menyambut datangnya Ibu guru

 

“ Selamat pagi, Bu Guru !”

Ucapnya dengan kepala menunduk mencium tangannya

 

Hari ini sudah beratus tahun yang lalu

Telah ditetapkan untuk anak bangsa

Hari ini hari kemuliaan bagi guru

Yang telah menjadikan kita bisa baca tulis

Hari ini kita rayakan karena jadikan kita pejabat negara

Hari ini kita  sambut bersama

Karena mereka telah mengabdi buat negara

 

Akan kita bawa  kemana lagi  jasa mereka

Akan kita bawa kemana lagi pendidikan anak-anak kita

Yang menganggap bahasa inggris lebih penting dari bahasa indonesia

Yang menganggap mencari uang lebih penting dari mencari surga

Yang menganggap rupiah lebih berharga dari kumandang suara azan

Yang menganggap musik barat lebih nikmat dari sholawat

 

Sebelum terlambat

Arahkan busur anak panah melesat

Membidik sasaran yang tepat

Bukan menghasilkan pengkhianat

 

Sebelum terlambat

Tulislah di lembaran kertas putih anak-anak negeri

Agar mengakar abadi

 

Saat Sujud ( Oleh : Pak Taka )

 

Saat Sujud

( Pak Taka )

 

 

Tuhan...

Jadikan kami ...

istighfar saat salah

 

 

Ya Alloh

Jadikan kami...

sabar saat diuji

 

 

Ya Robbi

Jadikan kami...

bersyukur saat diberi

 

 

Ya Tuhan Penguasa alam...

Dan jadikan kami ...

memaafkan saat didzolimi

 

amin

Masihkah Maaf-Mu Untukku ( Oleh : Pak Taka )

 

Masihkah Maaf-Mu Untukku

( Pak Taka )

 

 

Hari ini, kemenangan telah tergenggam

Jangan tinggalkan kembali

 

Hari ini jiwa telah disucikan

Jangan lagi dikotori

 

Sempurnakan dengan “Maaf ‘

Bersihkan hati

 

Meniti kembali

Hari-hari penuh tantangan menanti

 

Langkahkan kai meraih sukses

Menapaki jalan “ Sirotul Mustaqim “

 

Saat kata maaf di ujung lidah

Bersama nafas mohon ampun

Dalam lafadz dzikir

Mengagungkan Asma Alloh

Masihkan maaf-Mu untukku ?

Masihkah Guru Itu Pahlawan ( Oleh : Pak Taka )

 

Masihkah Guru Itu Pahlawan

 

Demi negeri
Kau korbankan waktumu
Demi bangsa
Rela kau taruhkan nyawamu
saat salah ucap pada siswa
maut menghadang di
depan
kau bilang itu hiburan

nampak raut wajahmu
tak segelintir rasa takut
semangat membara dijiwamu
taklukkan mereka penghalang negeri

hari-harimu diwarnai
pembunuhan, pembantaian
karakter
dihiasi bunga-bunga api
kegelisahan
mengalir sungai darah
pengabdian disekitarmu
bahkan tak jarang mata air darah itu
muncul dari tubuhmu
namun tak dapat
runtuhkan tebing semangat juangmu

Pena hitam seperti bambu runcing yang setia menemanimu
kaki telanjang tak beralas
pakain dengan seribu wangi
basah dibadan kering dibadan
kini menghantarkan
generasi muda
kedalam istana kemerdekaan

Pahlawan!
Untukmu derita
, untukmu penjara jabatan Guru
bukan bintang tersemat di dada
semangatmu api negara berdaulat
namamu terukir di jantung
siswa yang punya hati

Masihkah guru adalah pahlawan?

“ Sudahkah Guru Merdeka?” ( Pak Taka )

 

“ Sudahkah Guru Merdeka?

( Pak Taka )

 

 

Merdeka walau diucapkan dengan mulut bergetar

Karena lama menahan lapar

 

Meerdeka walau diucapkan dengan suara tak terdengar

Karena kemakmuran tak segera datang

 

Merdeka walau diucapkan dengan nada sumbang

Karena kenaikan gaji tak pernah datang

 

Merdeka walau masih jauh dari harapan

Karena kesejahteraan tak dihiraukan

 

Lalu aku harus memberi salam kemerdekaan ?

 

Katanya kita sudah merdeka

Tak terbelenggu oleh penjajah

 

Katanya kita sudah lama merdeka

Tetapi mengapa masih saja sulit untuk berkata

Atau merdeka tapi masih terbelenggu masalah ?

 

Lalu aku harus berucap merdeka ?

ketika mendengar banyaknya berita bohong

Lalu aku harus berkata merdeka ?

Ketika  kebebasan memeluk agama menjadi masalah

Lalu aku harus mengatakan merdeka?

Ketika kebebasan berpendapat masih menjadi masalah

Lalu aku harus berteriak merdeka ?

Ketika keamanan dan rasa keadilan juga masih menjadi masalah

 

Inikah yang namanya merdeka ?

Yang tak dapat bergerak dari tempat berdiri

 

Lalu apa makna merdeka ?

 

Terlihat sebagian tertawa, mentertawakan dirinya sendiri

Karena mereka bebas mengambuil harta rakyat

Terlihat sebagian mencibir dirinya sendiri

Karena masuk bui saat mereka merampok uang rakyat

 

Kemudian mereka lantang bicara

Kemudian mereka maling teriak maling

Kemudian mereka lari sembunyi di balik ketiak istri

Kemudian mereka tak menampakkan diri

Karena bersembunyi di rumah istri nikah siri

 

Suara teriakan merdeka tak terdengar lagi

Lalu aku berbisik “ Merdeka “

Walau tak berarti

Mau Bilang APa ( Pak Taka )

 


Pak Taka

*MAU BILANG APA*

 

 

Aku katakan sekali  lagi

“ Mau Bilang Apa “

Ketika rasa jenuh sudah diubun-ubun

Penat, bodsan, dan bingung masuk di otak

Mata tak lagi dapat diajak kompromi

Badan lelah diajak tegak berdiri

Tangan tak lagi mampu untuk mengeja huruf satu per satu

 

 

Terus aku harus bilang apa ?

Memberimu kata-kata saja

Sudah tak mampu menterjemahkan

Apalagi sederet kalimat panjang yang sarat dengan makna

Membisikkan doa saja sudah enggan mendengar

Apalagi sederet ayat-ayat Tuhan yang sarat dengan petuah.

Mestikah kata “ Biar “ harus terucap ?

Aku khawatir malaikat akan mengamini doa itu.

Aku takut Tuhan murka dengan mengambil sebuah keputusan hanya satu kata itu.

 

 

Lalu aku mau bilang apa ?

Fatwa-fatwa Tuhan saja tak mampu meluluhkan hati yang terlanjur beku.

Panas api neraka tak lagi menjadi senjata ampuh untuk menyadarkan mereka.

Dua malaikat Mungkar dan nangkir menggeleng-gelengkan kepala

Seandainya mereka bisa mengadukan pada Tuhan sekarang,

 pasti akan segera melaksanakan perintah untuk meremukkan tulang-tulang pembangkang

 

 

Ku  tahan kata itu jangan sampai terucap

Agar malaikat tak menagih janji pengabdi sebagai guru nanti.

Agar buku catatan bersih dari noda dengki

, namun tetaplah aku harus bilang apa untuk siswa-siswiku.

Selain doa yang kubisikkan pada Tuhan lewat getaran untaian tasbih yang diselimuti dinginnya malam beralaskan sajadah.

 

 

 

                                                                                                                       

 

 

 

 

Saat Sujud

( Mas Pur )

 

 

Tuhan...

Jadikan kami ...

istighfar saat salah

 

 

Ya Alloh

Jadikan kami...

sabar saat diuji

 

 

Ya Robbi

Jadikan kami...

bersyukur saat diberi

 

 

Ya Tuhan Penguasa alam...

Dan jadikan kami ...

memaafkan saat didzolimi

 

amin

 

Tangan-tangan Kecil

( Purwantaka )

 

Tangan – tangan kecil melambaikan bendera merah putih

Berbaris rapi menyambut datangnya Ibu guru

 

“ Selamat pagi, Bu Guru !”

Ucapnya dengan kepala menunduk mencium tangannya

 

Hari ini sudah beratus tahun yang lalu

Telah ditetapkan untuk anak bangsa

Hari ini hari kemuliaan bagi guru

Yang telah menjadikan kita bisa baca tulis

Hari ini kita rayakan karena jadikan kita pejabat negara

Hari ini kita  sambut bersama

Karena mereka telah mengabdi buat negara

 

Akan kita bawa  kemana lagi  jasa mereka

Akan kita bawa kemana lagi pendidikan anak-anak kita

Yang menganggap bahasa inggris lebih penting dari bahasa indonesia

Yang menganggap mencari uang lebih penting dari mencari surga

Yang menganggap rupiah lebih berharga dari kumandang suara azan

Yang menganggap musik barat lebih nikmat dari sholawat

 

Sebelum terlambat

Arahkan busur anak panah melesat

Membidik sasaran yang tepat

Bukan menghasilkan pengkhianat

 

Sebelum terlambat

Tulislah di lembaran kertas putih anak-anak negeri

Agar mengakar abadi

 

Tuhan Masihkan Maaf-Mu untuk Ku

( Purtaka )

 

Hari ini, kemenangan telah tergenggam

Jangan tinggalkan kembali

 

Hari ini jiwa telah disucikan

Jangan lagi dikotori

 

Sempurnakan dengan “Maaf ‘

Bersihkan hati

 

Meniti kembali

Hari-hari penuh tantangan menanti

 

Langkahkan kai meraih sukses

Menapaki jalan “ Sirotul Mustaqim “

 

Saat kata maaf di ujung lidah

Bersama nafas mohon ampun

Dalam lafadz dzikir

Mengagungkan Asma Alloh

Masihkan maaf-Mu untukku ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pesan Buat Anakku

Anakku, ketika kau akan  bisa berjalan
hati-hatilah, jalan ini licin, berdebu, dan terjal
tak ada tongkat kayu yang menyanggamu
bahkan tak ada tangan yang menggandengmu.

Anakku, ketika kau akan bisa berbicara
hati-hatilah, ruangan ini penuh dengan suara-suara
banyak serangga, hewan, bahkan manusia berteriak
dengarkan suara yang bersih, bening, dan merdu
agar telingamu merekam suara indah sampai ke lubuk hatimu

Anakku, ketika kau akan bisa berlari, bahkan bergerak bebas
ingatlah bahwa ujung dunia ini terbatas
jangan kau sangaka ufuk timur itu batas akhir
jangan kau percayai bahwa ufuk barat itu akhir perjalanan
Masih ada tempat yang lebih sempurna menunggumu

Purwantaka
dalam rindu buat anakku