Sabtu, 09 Mei 2020

Maaf dalam Perspektif Bahasa


R. Purwantaka
*” Maaf  Dalam  Perspektif   Bahasa“*
(  Deep Meaning )
*(Meminta maaf itu penting dan tidak boleh ditunda, dan memaafkan, tidak perlu menunggu kata maaf dari orang yang telah berbuat salah padamu.)*

Kata maaf memang mudah diucapkan, namun, tidak semua orang bisa melakukannya dengan keikhlasan hati. Padahal kalau kita bisa melakukannya dengan tulus, akan sangat bermanfaat dan membuat hidup lebih tenteram. Untuk itu, sebaiknya kamu segera belajar memberi dan meminta maaf dengan baik sebelum hal-hal buruk terjadi.

Istilah “maaf” sepertinya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari istilah lain yaitu “kesalahan”. Kedua kata ini seakan saling terikat satu sama lain. Sejalan dengan statement sebelumnya, maka akan lebih mudah bagi kita untuk melakukan banyak “kesalahan” ketimbang mengeluarkan sebuah kata “maaf” dari mulut kita. Memang benar bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) *mengungkapkan bahwa kata “maaf” memiliki 3 makna. Makna yang pertama adalah pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan. Kedua, kata “maaf” dapat berarti sebagai ungkapan permintaan ampun atau penyesalan. Terakhir, kata “maaf” mengandung makna ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu. Bagi saya pribadi, cukup menarik untuk membahas 2 makna dari kata “maaf” menurut KBBI, yaitu pembebasan dari hukuman dan penyesalan.*

          Kata “maaf” pun sangat bergantung pada nilai-nilai yang kita anut sebagai seorang individu Seberapa penting kita melihat “harga diri” kita . Kata “maaf” pun semakin sulit untuk kita kemukakan, ketika kita melihat “harga diri” kita adalah yang terutama, tanpa menghargai apa yang dirasakan oleh orang lain di sekitar kita.
Ketika kita berbicara mengenai “harga diri”, maka kita tidak bisa terlepas dari apa yang kita sebut sebagai “gengsi”, dan kita harus akui bahwa tidak mudah untuk melepaskan “gengsi” kita. Baik memaafkan seseorang, maupun meminta maaf kepada seseorang, tidak akan terjadi ketika kita masih terfokus kepada apa yang kita sebut “gengsi”.
Seorang guru tidak akan pernah mengakui kesalahan di depan para murid-muridnya, apabila sang guru merasa bahwa seharusnya dirinyalah yang selalu benar, dan murid-murid adalah pihak yang selalu salah. Baik “gengsi” dan “harga diri”,  sama-sama menjadi penghambat apabila kita ingin membicarakan “maaf”.
Mungkin satu hal yang bisa kita pelajari adalah jika kita ingin belajar untuk memaafkan seseorang atau meminta maaf kepada seseorang, maka belajarlah untuk menurunkan derajat “gengsi” yang kita miliki. Ketika itu terjadi, maka pintu “maaf” akan mulai terbuka bagi kita.
          Ketika pintu “maaf” telah terbuka, muncul pertanyaan kedua yaitu apakah kita benar-benar tulus dengan “perilaku saling maaf memaafkan” yang telah kita lakukan. mungkin inilah gambaran ketika “maaf” menjadi sebuah hal yang “tidak bernilai”, karena tidak adanya ketulusan hati ketika mengemukakan “maaf” tersebut.
Menurunkan derajat “gengsi” yang dimiliki untuk meminta maaf kepada seseorang merupakan perbuatan yang mengagumkan. Jika dimaafkan maka  terbuka peluang baginya untuk mendapatkan kembali harga diri di mata orang lain.
          Mungkin bagi kita yang hidup di dalam dunia yang semakin individualistis ini, kata “maaf” sepertinya sudah mulai kehilangan “sihirnya”. Setiap insan manusia saat ini sepertinya sudah mulai melupakan makhluk apakah manusia ini.
Tuhan sudah menciptakan manusia untuk menjadi makhluk sosial, di mana hubungan antar manusia adalah sebuah keniscayaan, dan tentunya “maaf” merupakan sebuah kebutuhan. Sayangnya, “maaf” saat ini hanya menjadi “pelengkap”, jika memang benar-benar dibutuhkan barulah digunakan.
Mungkin saat ini “gengsi” dapat dengan mudah seseorang kurangi demi sebuah “maaf”. Mungkin saat ini seseorang dapat dengan mudah berkata, “Aku sudah memaafkan kamu,” atau, “Saya tahu saya salah. Saya ingin meminta maaf dan memperbaiki kesalahan saya.”
Saya yakin kata-kata tersebut akan keluar dengan mudahnya, ketika kita memang sedang di dalam keadaan dimana mau tidak mau kita mengeluarkan kata “maaf”. Ketika kita sedang takut kehilangan pekerjaan, maka dengan mudahnya kita akan meminta maaf kepada atasan kita, walaupun kita ngedumel ketika kita pulang dari kantor. Ketika kita sudah tahu telah melanggar aturan lalu lintas, dengan mudahnya kita mengeluarkan kata “maaf” kepada polisi agar tidak ditilang,
Ketika seoarang anak membutuhkan uang jajan dari ibunya, maka dengan mudahnya keluar kata “maaf”, walaupun sang anak telah membuat ibunya kecewa. Apakah ini adalah “maaf” yang sesungguhnya? Apakah “maaf” akan muncul ketika dibutuhkan untuk memuluskan sebuah tujuan?
Apakah “maaf” akan muncul hanya ketika kita merasa terpaksa untuk melakukannya? Begitu banyak pertanyaan yang ada di saat ini, apakah “maaf” sudah tidak ada nilainya. Jika memang “maaf” bernilai, maka nilainya hanya sebatas pelengkap dan pemulus sebuah tujuan tertentu.
Saya yakin pasti ada orang yang dapat memberikan kata “maaf” dengan tulus, walaupun mungkin orang-orang tersebut sangat jarang adanya saat ini, dan saya berharap akan adanya orang-orang yang tulus ketika menyebutkan kata “maaf”. Namun, bukankah akan lebih mudah untuk mengeluarkan kata “maaf” ketika kita membutuhkan sesuatu?
*“Apakah saya sudah melakukan “maaf” dengan benar? Atau saya hanyalah bagian dari kelompok, yang menganggap “maaf” sebagai salah satu senjata dalam mengarungi kehidupan ini?”*

*Ketika kesetiaan menjadi barang mahal. Ketika kata maaf terlalu sulit untuk diucap. Ego siapa yang sedang berkecamuk ?*

*Takan mulia kau menunggu permintaan maaf. Takan hina kau meminta maaf terlebih dahulu.*

*Kadang mengalah dan meminta maaf itu lebih baik daripada menjelaskan segalanya kepada orang yang tak mau mengerti.*

*Bertahan melawan logika aku masih mampu. Setengah gila mengingkari perasaanku, tersudutku tanpa ampun. Maaf aku tak mampu.*

*Anda akan belajar, saat usia bertambah, bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar. Cukup berani untuk hidup pada istilah Anda, dan tidak pernah meminta maaf untuk itu.*

*Orang lemah tidak pernah bisa memaafkan karena memberi maaf hanya dapat dilakukan oleh orang yang kuat.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar