Sabtu, 18 Maret 2023

Artikel: *Salah, Lupa, atau Kebiasaan Berbahasa Salah*

 

*Salah, Lupa, atau Kebiasaan Berbahasa Salah*

(Tinjauan Kesalahan Berbahasa lisan dan Tulis )

 

*Bagaimanakah Bahasa Yang Baik dan Benar*

Setiap Pengguna bahasa ada bahasa lisan dan bahasa Tulis. Setiap negara punya turan untuk penggunaannya. Penggunaan bahasa Indonesia sudah diatur dalam UU dan peraturan pemerintah melalaui Permendikbud tentang EYD. Penggunaan bahasa baik lisan maupun tulis.semakin berat. Penggunaan bahasa di ruang publik masih sering belum sesuai dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar.

 

Jika kita cermati bahwa kealahan penggunaan bahasa ada dua jenis yaitu: terbuka dan Tertutup.  Kesalahan terbuka adalah kesalahan berbahasa pada tingkat ketatabahasaan yang terlihat dalam kalimat-kalimat yang dihasilkan. Kesalahan tertutup merupakan kesalahan yang tersembunyi di balik kalimat yang tersusun secara benar menurut tata bahasa; secara benar menurut kaidah ketatabahasaan tetapi tidak benar dari sudut semantiknya. (Soenardji, 1989: 143-144).

 

Kita sejenak mengingat kembali mengapa bisa terjadi kesalahan dalam penggunaan bahasa. Ketentuan penulisan bahasa  Indonesia di tempat umum di atur sebagai berikut (Pusat Bahasa, 2007: 4—5).

1.     Bahasa yang digunakan di tempat umum, seperti pada papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

2.     Nama badan usaha, kawasan, gedung yang memerlukan pengesahan dari instansi pemerintah menggunakan bahasa Indonesia.

3.     Nama asing badan usaha yang merupakan cabang badan usaha luar negeri dan nama asing merek dagang yang terdaftar dan mempunyai hak paten tetap dapat dipakai.

4.     Pada setiap papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan digunakan tulisan/huruf latin.

5.     Pada papan nama, papan petunjuk kain rentang, dan papan iklan, jika dianggap perlu, dapat dibenarkan sepanjang untuk nama/lambang produk yang telah mendapat izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.     Organisasi internasional yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan perwakilan diplomatik negara asing dapat tetap menggunakan tulisan/huruf dan/atau bahasa asing yang ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesianya.

 

 

Norish (1983: 6-8) memandang perlunya membedakan tiga tipe penyimpangan berbahasa yang berbeda . Tiga hal itu meliputi error, mistake, dan lapse.

-        Error: kesalahan, merupakan penyimpangan berbahasa secara sistematis dan terus-menerus sebagai akibat belum dikuasainya kaidah-kaidah atau norma-norma bahasa target.

-        Mistake, kekeliruan, terjadi ketika seorang pembelajar tidak secara konsisten melakukan penyimpanagn dalam berbahasa. Kadang-kadang pembelajar dapat mempergunakan kaidah/norma yang benar tetapi kadang-kadang mereka membuat kekeliruan dengan mempergunakan kaidah/norma dan bentuk-bentuk yang keliru.

-        Lapse, selip lidah, diartikan sebagai bentuk penyimpangan yang diakibatkan karena pembelajar kurang konsentrasi, rendahnya daya ingat atau sebab-sebab lain yang dapat terjadi kapan saja dan pada siapa pun

 

 

Selain itu, dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 (2011) tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, diatur tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat umum. Aturan-aturan itu dijabarkan sebagai berikut.

1.     Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia (Pasal 36).

2.     Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia (Pasal 37).

3.     Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum Pasal 38).

 

*Bentuk  Kesalahan*

Ejaan mengatur penggunaan kaidah dalam bahasa tulis. Aturan ini harus dipatuhi oleh pemakai bahasa demi keteraturan bahasa tulis. Jika tidak mengikuti ejaan yang berlaku, kejelasan makna dapat terganggu karena tidak menyepakati aturan yang ada. Wujud kesalahan ejaan meliputi huruf kapital, huruf miring, singkatan dan akronim, kata depan, gabungan kata, penulisan angka dan bilangan, penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda pisah, tanda titik dua, dan tanda titik koma.

 

Kesalahan penggunaan huruf kapital banyak terdapat pada persoalan nama diri. Masih banyak pengguna bahasa yang keliru dalam menentukan nama diri atau bukan nama diri. Dalam KBBI nama diri berarti ‘nama yang dipakai untuk menyebut diri seseorang, benda, tempat tertentu, dan sebagainya’. Dengan kata lain, nama diri dapat dinyatakan bahwa sudah pasti atau satu-satunya atau tidak ada yang lain (Sriyanto, 2019: 20)

 

Penulisan kata depan juga masih menjadi kendala karena masih banyak kesalahan yang muncul. Penulisan gabungan kata juga masih banyak kesalahan. Kesalahan itu terjadi ketika ditulis dalam gabungan kata dalam bentuk dasar dan gabungan kata yang juga mendapat awalan dan akhiran. Juga Kesalahan penulisan angka dan bilangan

 

Kesalahan bentuk dan pilihan kata juga banyak ditemui pada penggunaan bahasa Indonesia di media massa sekolah. Bentuk dan pilihan kata merupakan cara seseorang dalam memilih kata yang tepat dan cermat sesuai konteks yang dibicarakan. Pemilihan kata yang cermat akan (1) mempercepat pengungkapan gagasan, (2) menjadikan bahasa Indonesia menjadi hidup, (3) menarik dan tidak membosankan, serta (4) menghindari salah informasi (Sasangka, 2012:99—100)

 

Kesalahan di media umum sering terlihat pada  pengunaan bentuk tidak baku. Bentuk baku yang sering salah digunakan berkaitan dengan pemadanan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Kasus penggunaan konjungsi juga tampak pada penggunggan konjungsi subordinatif yang bisa berakibat pada ketidakjelasan struktur kalimat sehingga menjadi tidak efektif. 

 

Namun demikian ada kesalahan berbahasa Indonesia yang ditoleransi, Kesalahan ini cenderung pada bahasa lisan, di antaranya:

 

*1. Penggunaan kata ganti kepunyaan"nya"*

Siapa namanya? Alamatnya di mana? Boleh tahu nomor teleponnya, gak?

Itulah kalimat yang biasa digunakan kalau kita berkenalan dengan orang baru. Sekilas terlihat biasa saja. Tetapi, sebenarnya kalimat tersebut salah. Apa yang salah?

 

Dalam kalimat tersebut terdapat kata "namanya". Perlu diketahui, bahwa kata "-nya" adalah kata ganti kepunyaan untuk orang ketiga. Jika dalam bahasa Inggris sama dengan "his" atau "her". Jadi, sangat tidak etis apabila kita bertanya kepada orang kedua (kamu) tapi kita menggunakan kata ganti kepunyaan orang ketiga (dia).

 

*2. Kata "oke"*

 

Oke, nanti kita ketemuan jam enam.

Kata "oke" sudah lazim digunakan di masyarakat. Mulai dari kalangan rakyat biasa sampai para pejabat negara. Kata "oke" biasanya digunakan saat kita menyetujui pernyataan orang lain.

Tahukah Anda, kalau kata "oke" sebenarnya bukan bahasa Indonesia asli? Kata "oke" sebenarnya merupakan bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya adalah "baiklah".

 

*3. Kesalahan Membaca*

Bagaimana cara kalian membaca TVRI? Bagaimana pula kalian mengucapkan TV?

Itulah kesalahan yang banyak terjadi di masyarakat. Yaitu pelafalan huruf V yang sering kita baca "Vi". Contohnya, TV dibaca "Ti Vi". Padahal, dalam bahasa Indonesia huruf T dibaca "Te" dan huruf V dibaca "Ve", bukan "Vi".

 

*4. Imbuhan "-ir"*

 

Sebagai staf keuangan, sudah pasti harus mampu mengorganisir keuangan perusahaan

Kemungkinan besar kata "mengorganisir" sudah tak aneh lagi di telinga kita. Mengorganisir biasa kita artikan sebagai "mengatur", "menyusun" atau "menata". Sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, ada kesalahan penggunaan imbuhan "-ir" pada akhir kata organisasi. Padahal imbuhan "-ir" tidak ada dalam kaidah kebahasaan bahasa Indonesia. Yang ada adalah imbuhan "-isasi". Jadi, kata yang sering kita dengar atau ucapkan seperti, mengorganisirmeminimalisir, dan menetralisir sebenarnya kurang tepat. Seharusnya, kata "mengorganisir" diganti menjadi "mengorganisasi". "Menetralisir" harusnya diubah menjadi "menetralisasi".

 

*5. Kata Ganti "gua"*

 

Ehh besok gua ada kerja kelompok sama Meli. Lu mau nemenin gak? Sekalian Lu pdkt sama dia

Melihat kalimat di atas, rasanya ingin menangis. Begitu kacau bahasa Indonesia yang digunakan. Banyak kata yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baku, bahasa yang sesuai dengan EYD.

Untuk kalangan millenials, sudah tak asing bagi mereka kata "gua" sebagai kata ganti orang pertama. Padahal, dalam KBBI, kata "gua" adalah sebuah terowongan di bawah tanah. Contohnya saja Gua Belanda, Gua Jepang, Gua Hira dll. Tak ada kata "gua" sebagai kata ganti orang pertama.

 

*Kecenderungan Kesalahan dalam Bahasa Tulis*

*1Ubah dan bukan rubah*

Banyak yang menyangka bahwa rubah adalah semacam kata dasar dalam bahasa Indonesia yang berarti 'tukar' atau 'ganti'. Karena itu, bentuk kata berimbuhan merubah dianggap benar.

Namun faktanya tidak demikian. Pemakaian yang benar adalah mengubah. Adapun rubah yang berarti 'hewan sejenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, dsb'--seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma--tidak dikenal masyarakat Indonesia karena rubah bukanlah hewan asli Indonesia.

 

*2. Di mana atau dimana*

Banyak pula yang tidak bisa membedakan kapan "di" harus disambung dan harus dipisah. Misalnya, menuliskan di kantor atau dikantor.

Padahal ada cara mudah untuk membedakannya, yakni mengetahui kelas kata "di" yang dipakai, apakah dia sebagai kata depan ataukah kata sambung. Misalnya "di" sebagai kata depan yang menunjukkan tempat, maka penggunaannya dipisah. Sementara jika "di" sebagai kata sambung atau imbuhan, seperti pada kata "dimakan", maka penggunaannya harus dilekatkan pada kata dasarnya.

Selain itu, cara lainnya adalah dengan menempelkan awalan "me-" pada kata dasar. Prinsipnya, setiap kata yang bisa menempel pada awalan "-me", maka tentu bisa menempel pula pada awalan "di-". Misalnya ada kata memuja, maka ada kata dipuja yang harus ditulis serangkai pula.

 

*3. Olahraga atau olah raga*

Bentuk kesalahan lainnya yang beredar di masyarakat adalah penulisan olahraga sebab banyak yang menulisnya sebagai olah raga. Padahal antara kata olah dan raga seharusnya tidak ada spasi.

Selain itu, banyak pula yang tidak tahu apakah kata sepak bola disambung atau tidak, atau bulu tangkis dipisah atau tidak--sehingga menuliskannya menjadi sepakbola dan bulutangkis. Jadi, saya tegaskan bahwa kedua kata ditulis sebagai sepak bola dan bulu tangkis.

 

*4. Pencinta dan bukan pecinta*

Orang yang bercinta lazim kita kenal sebagai pecinta. Tapi tunggu dulu, mari kita cek. Ternyata Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-IV menyatakan pencinta sebagai bentuk yang benar.

Nah, kenapa bisa begitu? Rupanya pencinta diturunkan dari kata dasar mencinta, dan bukannya cinta.

Hal yang sama dengan kata pencandu yang ternyata bentuk baku dari pecandu, yang berarti 'pemadat'

 

*5. Haru biru yang salah kaprah*

Dalam sebuah berita kita sering membaca ada kalimat: pelayat yang datang merasa haru biru melihat kejadian yang menyedihkan itu. Sehingga dalam bayangan kita, haru biru adalah suatu kejadian yang membuat sedih dan menyayat hati.

Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-IV disebutkan bahwa haru biru bermakna 'kerusuhan; keributan; kekacauan; huru-hara'.

 

*6. Pedestrian yang bukan pejalan kaki*

Ada sebuah foto yang bagus yang dimuat di surat kabar nasional. Di bawahnya tertera "warga tengah berjalan kaki di jalur pedestrian menikmati suasana kota."

 

*7. Dipungkiri atau dimungkiri?*

Sebagian besar dari kalian pasti lebih akrab dengan dipungkiri, kan? Tapi, dari dua pilihan di atas, dimungkiri lebih tepat karena kata dasarnya adalah mungkir. Kalau dicek di www.asalkata.com, kata ini diserap dari bahasa Arab: munkir. KBBI memaknainya dengan: (1) tidak mengaku(i); tidak mengiyakan, (2) tidak setia; tidak menepati (janji); menolak; menyangkal.

 

Tetapi, saat dipakai dengan imbuhan, kenapa jadi (di)pungkir(i), ya? Bahasawan Ivan Lanin berpendapat, ini mungkin karena para penutur menyangka bentuk pasifnya turunan dari kata pungkir yang huruf “p”-nya mengalami pelesapan saat diberi imbuhan “me-“: “memungkiri“.

 

Dengan kata lain, salah kaprah ini terjadi karena banyak orang tidak tahu bentuk aktifnya memungkiri, terus malah mengira, “Ah.. pasti kata dasarnya pungkir nih, huruf “p” melebur jadi “m”, jadi bentuk pasifnya dipungkiri!” Profesor Harimurti Kridalaksana menyinggung gejala ini sebagai derivasi balik (back-derivation atau back-formation). Derivasi balik, menurutnya sebagai proses pembentukan kata berdasarkan pola-pola yang ada, tanpa mengenal atau mempertimbangkan unsur-unsurnya.

Padahal, yang tepat adalah bentuk aktifnya memungkiri dan pasifnya dimungkiri.

 

*2. Di mana yang entah ke mana-mana*

Kira-kira apa yang keliru dari meme di atas? Sepintas, mungkin kalian akan bilang yang keliru adalah penggunaan kata hubung “di-“ yang dipisah dari kata rebut atau kata dimana yang mestinya di mana. Tapi sebenarnya, poin utama yang keliru adalah kata di mana itu sendiri yang sering banget disalahgunakan dalam percakapan sehari-hari. Bapak Bataone menjelaskan kata “di mana” digunakan saat menanyakan sesuatu tempat dan kata hubung yang menyatakan tempat. Contoh penggunaan kata di mana yang benar: Di mana kamu membeli ponsel itu? Atau Koordinatorlah yang mesti menentukan di mana rapat itu diadakan.

Lalu sisanya? Kan banyak tuh orang menggunakan kata di mana sebagai penjelas kata sifat atau keterangan. Menurut gue, itu praktik berbahasa Indonesia yang keliru, deh. Berikut salah kaprah penggunaan kata di mana.

SALAH KAPRAH

 

SEHARUSNYA

Kantor di mana saya bekerja memberikan jaminan hari tua

–>

Kantor tempat saya bekerja memberikan jaminan hari tua

Kami menghadiri ceramah di mana Profesor Sarlito Wirawan sebagai penceramahnya

–>

Kami menghadiri ceramah dengan Profesor Sarlito Wirawan sebagai penceramahnya

Petugas KPK telah menahan pejabat di mana dituduh terlibat korupsi

–>

Polisi telah menahan pejabat yang dituduh terlibat korupsi

 

*3. Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67!*

 

Dirgahayu berasal dari bahasa Sanskerta ‘dīrghāyuṣ’, yang berarti semoga panjang umur (long live). J.S Badudu, tokoh bahasa Indonesia juga pernah membahas ini di Koran Suara Pembaruan 23 tahun yang lalu. Selama ini, dirgahayu banyak diartikan sebagai ‘selamat ulang tahun’ ternyata mempunyai arti ‘(mudah-mudahan) berumur panjang’. Jadi, coba bayangkan arti dari gambar di atas: semoga panjang umur kemerdekaan Republik Indonesia ke-67. Padahal lebih pas kalau diubah menjadi: Selamat ulang tahun ke-67 Republik Indonesia – Semoga panjang umur!

 

*4. Kita versus kami*

Kita dan kami terkadang dianggap sama meskipun artinya berbeda. Namun,  kerap menemukan penggunaan kita dalam sebuah kalimat namun maksud penuturnya adalah kami.

Apakah kita (semua pembaca tulisan dari Detik.com) ini merupakan anggota Markas Besar Kepolisian RI? Tentunya, maksud pak Polisi ini dia dan koleganya di kantor pusat kepolisian itu (baca: kami). Entah karena kadung biasa atau khawatir dikira ekslusif, terpilihlah kita alih-alih kami.

 

Kita merujuk pada pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara. Kami pronominal yang berbicara bersama dengan orang lain (saya dan yang lain, tak termasuk kamu) dan tidak termasuk orang yang diajak berbicara). Sementara, kita menyertakan lawan bicara (saya, kamu dan yang lainnya). Mengutip Ivan Lanin, perihal kita (inklusif) dan kami (ekslusif) ini masuk ranah linguistik dengan istilah clusivity atau klusivitas. Klusivitas lumrah tersua pada bahasa dalam rumpun Austronesia, termasuk bahasa kita.

 

*5. Karut marut versus carut marut*

 

“Karut”  (menurut KBBI), punya makna: kusut; kacau tidak keruan. Sedangkan karut-marut juga berarti kusut (kacau); rusuh dan bingung (tentang pikiran, hati, dan sebagainya); banyak bohong dan dustanya (tentang perkataan, dan sebagainya.).

carut-marut”  Carut sendiri berarti “keji, kotor, cabul” (dalam konteks perkataan). Sedangkan carut-marut berarti “perkataan yang keji, berkata kotor atau bersumpah-serapah”. Kalau elo melihat ada teman yang mengumpat menggunakan kata kotor, itu artinya ia sedang bercarut-marut. 

 

*6. Sosial media versus media sosial*

Sebenarnya, ini contoh yang sederhana. Penyerapan istilah asing tentu mengikuti kaidah bahasa yang jadi penyerap. Untuk konteks ini, berlaku hukum DM dan MD, menerangkan diterangkan dan diterangkan menerangkan. Terjemahan social media tentunya media sosial, bukan? Bukan sosial media. Media adalah rupa dari menerangkan dan sosial adalah rupa dari diterangkan. Artinya, media sosial itu adalah media untuk seseorang atau kelompok bersosialisasi dengan orang lain.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

-        Brindley, Geoff (Ed). 1990. The Second Language Curriculum in Action. Sydney NSW : Macquarie University Press.

-        Dardjowidjodjo, Soenjono. 1995. ―Masalah dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing di Indonesia‖. Kongres Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing , 28-30 Agustus 1995 di Universitas Indonesia, Jakarta.

-        Ellis, Rod. 1986. Classroom Second Language Development. Oxford : Pergamon Press.

-        George, H.V. 1972. Common Errors in Language Learning ; Insight From English.

Massachusetts : Newbury House Publisher.

-        Johnson, Donna M. 1992. Approaches to Research in Second Language Learning. New York: Longman Publishing Group.

-        Lightbown, Patsy M dan Nina Spada. 1999. How Languages Are Learned (Revised Edition). Oxford : Oxford University Press

-        Munawarah, Sri. 1996. ―Kesalahan Penulisan yang Dilakukan Penutur Asing dalam Belajar Bahasa Indonesia‖. Konferensi Internasional II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). 29 Mei - 1 Juni 1996 di Padang.

-        Nimmanupap, Sumalee. 1998. ―Pengajaran Bahasa Indonesia untuk pembelajar Asing di Thailand”, Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26-30 Oktober 1998.

-        Norissh, John. 1983. Language Learners and Theirs Errors. London : The Macmillan

-        Press. O‘Grady, William dan Michael Dobrovolsky. 1989. Contemporary Linguistics : An Introduction. New York : St. Martin‘s Press.

-        Rivai, S. Faizah Soenoto. 1998. ―Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing di Italia‖ Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26-30 Oktober 1998.

-        Soenardji, 1989, Sendi-Sendi Linguistika bagi Kepentingan Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Spillane, James. 1993.

-        ―Kesulitan Orang Asing Belajar Bahasa Indonesia‖. Makalah Seminar Sehari Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Asing, 16 Maret 1993 di Yogyakarta.

-        Suratminto, Lilie, 1996. ―Remedial Class untuk Mahasiswa BIPA Tingkat Tengah dan Lanjutan‖.

-        Makalah Konferensi Internasional II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II) 29 Mei - 1 Juni 1996 di IKIP Padang.

-        Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Penerbit Angkasa.

-        _____. 1989. Pengajaran Remedi Bahasa: Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Depdikbud. Wojowasito, 1977, Pengajaran Bahasa Kedua (Bahasa Asing, Bukan Bahasa Ibu), Bandung: Shinta Dharma.

-        http://balaibahasakalsel.kemdikbud.go.id/2020/09/25/penggunaan-bahasa-indonesia-di-media-massa/

-        Fadjriah Nurdiarsihhttps://www.liputan6.com/citizen6/read/2631255/kolom-bahasa-6-kesalahan-dalam-penggunaan-bahasa-indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar