Sabtu, 18 Maret 2023

Artikel: *”Membedah Fonolgis Ortografis dan ortografis Fonologis dalam Bahasa Indonesia”*

 


*”Membedah Fonolgis Ortografis dan ortografis Fonologis dalam Bahasa Indonesia”*

 

Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi-bunyi (fonembahasa dan distribusinya. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia.. Bidang kajian fonologi adalah bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang membentuk suku kata.

 

Asal kata fonologi, secara harfiah sederhana, terdiri dari gabungan kata fon (yang berarti bunyi) dan logi (yang berarti ilmu). Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah fonologi merupakan turunan kata dari bahasa Belanda, yaitu fonologie.

 

Fonologi terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan dan pengucapan bahasa. Dengan kata lain, fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Sementara itu, Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi–bunyi bahasa menurut fungsinya. Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian, fonologi adalah sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan bahwa fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.

 

Menurut Abdul Chaer (2003:102), secara etimologi istilah “fonologi” ini dibentuk dari kata “fon” yang bermakna “bunyi” dan “logi”  yang berarti “ilmu”. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya.

 

Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa fonologi  merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan  fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam suatu bahasa. Fonologi ialah bagian dari tata bahasa yang memperlajari bunyi-bunyi bahasa (Keraf, 1984: 30).

 

Definisi Fonologi menurut Fromkin & Rodman (1998:96), fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Definisi Fonologi menurut Trubetzkoy (1962:11-12), fonologi merupakan studi bahasa yang berkenaan dengan sistem bahasa, organisasi bahasa, serta merupakan studi fungsi linguistis bahasa.

 

Adanya banyak kesamaan antara tanda grafis dan simbol fonetis dalam sistem ortografi bahasa Indonesia dalam huruf Latin, di satu pihak merupakan suatu keuntungan, namun di pihak lain merupakan suatu kekurangan/kelemahan. Keuntungannya ialah dengan adanya banyak kesamaan itu orang dengan mudah melafalkan kata-kata bahasa Indonesia tanpa latar belakang pengetahuan fonologis sekalipun. Adapun kekurangannya ialah seseorang dengan mudah terseret ke wilayah yang tidak jelas, kapan ia berada di wilayah fonologi dan kapan ia berada di wilayah ortografi.

 

Kerancuan dalam melisankan bahasa tulis disebut kerancuan fono-ortografis dapat terjadi karena ketidaksempumaan dan ketidaktaatasasan sistem ortografisnya atau karena faktor lain yang diciptakan oleh penggunanya dengan tujuan tertentu yang ada kaitannya dengan status sosialnya di masyarakat. Namun demikian, dengan alasan apapun hal tersebut sebenarnya tidak boleh terjadi apabila diinginkan tegaknya kaidah fonologi bahasa Indonesia yang mantap dan konsisten.

 

Ada 3 (tiga) unsur penting ketika organ ucap manusia memproduksi bunyi atau fonem, yaitu:  1. udara - sebagai penghantar bunyi, 2. artikulator - bagian alat ucap yang bergerak, dantitik artikulasi (disebut juga artikulator pasif), 3. bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.

 

Ada beberapa istilah lain yang berkaitan dengan fonologi, antara ain: fona, fonem, vokal, dan konsonan. Fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral atau masih belum terbukti membedakan arti, sedangkan fonem adalah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti.

 

Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan. Dalam bahasa, khususnya bahasa Indonesia, terdapat huruf vokal. Huruf vokal merupakan huruf-huruf yang dapat berdiri tunggal dan menghasilkan bunyi sendiri. Huruf vokal terdiri atas: a, i, u, e, dan o. Huruf vokal sering pula disebut huruf hidup.

 

Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan rintangan adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator. Terdapat pula istilah huruf konsonan, yaitu huruf-huruf yang tidak dapat berdiri tunggal dan membutuhkan keberadaan huruf vokal untuk menghasilkan bunyi. Huruf konsonan tersebut terdiri atas: b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p,

 q, r, s, t, v, w, x, y, dan z. Huruf konsonan sering pula disebut sebagai huruf mati.

 

*Sejarah Fonologi*

Sejarah fonologi dapat dilacak melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu ke waktu. Pada sidang Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche Desgenettes mengusulkan nama fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes” ‘memoir tentang sistem awal vokal bahasa – bahasa Indo eropa ‘ yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam bahasa –bahasa anggotanya.

 

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa fonologi sesungguhnya merupakan satu sub disiplin linguistik yang membicarakan tentang bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan teori-teori perubahan bunyi itu. Fonologi juga membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa dan cara menganalisnya. Dengan demikian, kegiatan mempelajari bunyi bahasa idealnya tidak hanya sebatas upaya pengenalan bunyi-bunyi itu, tetapi juga harus diiringi dengan latihan menganalisis bunyi-bunyi bahasa tersebut dari segala segi.

 

Sejalan dengan pandangan sebelumnya,  Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa fonologi  merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan  fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam suatu bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, leksikal artinya bersangkutan dengan kata (Depdikbud, 1988:510). Jadi bunyi bahasa yang dimaksud oleh Verhaar di sini adalah bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.

 

Perbedaan tersebut menurut Verhaar selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen, yakni unsur bahasa yang merupakan bagian dari unsur yang lebih besar.  Oleh karena itu fonologi dipandangnya  sebagai satu cabang ilmu yang menyelidiki tentang “perbedaan minimal / minimal differences /  pasangan minimal”  antara ujaran-ujaran. Selanjutnya  Verhaar ( 1984:36) menjelaskan pula bahwa, “Pasangan minimal adalah seperangkat kata yang sama, kecuali dalam satu bunyi”.

 

Pakar lainnya menyebut pasangan minimal ini dengan istilah “kata berkontras”, yaitu dua kata mirip yang memiliki satu bunyi yang berbeda dan menghasilkan makna yang berbeda pula. Bunyi yang berfungsi membedakan makna ini disebut “fonem” dan bunyi yang tidak berfungsi sebagai pembeda makna dinamai “fon”.

 

Perlu diketahui bahwa setiap bahasa memiliki khasanah fonem.Yang dimaksud dengan khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam suatu bahasa. Fonem yang dimiliki satu bahasa dengan bahasa yang lain tidak sama jumlahnya. Dalam hubungan ini Samsuri (1994:93) menegaskan bahwa “ … tidak ada dua bahasa yang memakai bunyi-bunyi yang sama benar”.

 

Menurut Samsuri (1994:91), “Sebagai ilmu, fonetik berusaha menemukan kebenaran-kebenaran umum dan memformulasikan hukum-hukum tentang bunyi-bunyi itu dan pengucapannya; sebagai kemahiran fonetik memakai data deskriptif daripada fonetik ilmiah guna memberi kemungkinan pengenalan dan produksi (pengucapan) bunyi-bunyi ujar itu”

 

*Bagaimana dengan Fonetik ?*

Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur dan bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap. Menurut Samsuri (1994), fonetik adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), fonetik diartikan bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar atau fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa.

Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu menjadi tiga jenis fonetik yaitu:

1.     *Fonetik Artikulatoris*

 

Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

 

Pembahasannya antara lain meliputi masalah alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi dalam bahasa itu, mekanisme arus udara yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa, bagaimana bunyi bahasa itu dibuat, mengenai klasifikasi bahasa yang dihasilkan serta apa kriteria yang digunakan, mengenai silabel, dan juga mengenai unsur-unsur atau ciri-ciri supresegmental, seperti tekanan, jeda, durasi dan nada.

2.     *Fonetik Akustik*

 

Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di udara, antara lain membicarakan: gelombang bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum, tekanan, dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, serta pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada kajian fisika daripada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki kepentingan didalamnya.

3.     *Fonetik auditoris*

 

Fonetik auditoris mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diterima oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu didengar dan dapat dipahami. Dalam hal ini tentunya pambahasan mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kajian fonetik auditoris lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian neurologi.

 

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika yang dilakukan setelah bunyi-bunyi itu dihasilkan dan sedang merambat di udara.

 

Kajian mengenai frekuensi dan kecepatan gelombang bunyi adalah kajian bidang fisika bukan bidang linguistik. Fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran daripada linguistik. Kajian mengenai struktur dan fungsi telinga jelas merupakan bidang kedokteran.

 

*Bagaimana dengan Fonemik ?*

Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan pengertian tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) diartikan: (1) Bidang linguistik tentang sistem fonem. (2) Sistem fonem suatu bahasa. (3) Prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa.

 

Jika dalam fonetik mempelajari berbagai macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

 

Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u] dan [r], [a], [b] dan [u]. Jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

 

1.     *Fonologi dalam Cabang Morfologi *

 

Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-kan}.

 

2.     *Fonologi dalam Cabang Sintaksis*

 

Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri?(kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.

3.     *Fonologi dalam Cabang Semantik*

 

Bidang semantik yang berkosentrasi pada persoalan  makna kata pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.

 

*Fonem-Fonem Bahasa Indonesia*

Supriyadi (1992) berpendapat bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan kebahasaan yang terkecil. Santoso (2004) menyatakan bahwa fonem adalah setiap bunyi ujaran dalam satu bahasa mempunyai fungsi membedakan arti. Bunyi ujaran yang membedakan arti ini disebut fonem. Fonem tidak dapat berdiri sendiri karena belum mengandung arti.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) tertulis bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Misalnya /b/ dan /p/ adalah dua fonem yang berbeda karenabara dan para beda maknanya. Contoh lain: mari, lari, dari, tari, sari jika satu unsur diganti dengan unsur lain, maka akan membawa akibat yang besar yakni perubahan makna.

 

*Perbedaan Fonem dan Huruf*

Dalam bidang linguistik, huruf sering diistilahkan dengan grafem. Fonem adalah satuan bunyi bahasa yang terkecil yang dapat membedakan arti. Sedangkan huruf (grafem) adalah gambaran dari bunyi (fonem), dengan kata lain, huruf adalah lambang fonem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) bahwa huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa.

 

*Sistem Fonologi dan Alat Ucap*

Dalam bahasa Indonesia, secara resmi ada 32 buah fonem, yang terdiri atas: (a) fonem vokal 6 buah (a, i. u, e, ∂, dan o), (b) fonem diftong 3 buah, dan (c) fonem konsonan 23 buah (p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l,w, dan z).

 

Bentuk-bentuk fonem suatu bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dibahas dalam bidang fonetik. Terkait dengan hal itu, Samsuri (1994) menyatakan secara fonetis bahasa dapat dipelajari secara teoritis dengan tiga cara, yaitu:

 

*Bagaimana Bunyi-bunyi itu Dihasilkan oleh Alat Ucap Manusia*

 

Bagaimana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut dan /atau rongga hidung si pembicara merupakan gelombang-gelombang bunyi udara. Bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat pendengaran dan syaraf si pendengar.

Cara pertama disebut fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut akustis dan yang ketiga auditoris. Dalam bahasan struktur fonologis cara pertamalah yang paling mudah, praktis, dapat diberikan bukti-bukti datanya. Hampir semua gerakan alat-alat ucap itu dapat kita periksa, paru-paru, sekat rongga dada, tenggorokan, lidah dan bibir.

 

Alat ucap dibagi menjadi dua macam:

1.     Artikulator; adalah alat-alat yang dapat digerakkan/ digeser ketika bunyi diucapkan

2.     Titik Artikulasi; adalah titik atau daerah pada bagian alat ucap yang dapat disentuh atau didekati

 

Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan, atau tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi. Sebagai contoh bunyi [p] terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah), sehingga tempat artikulasinya disebut bilabial.

 

 

*Kajian Ortografis*

Ortografi adalah subbidang linguistik terapan yang mengkaji tats perwujudan bahasa dalam bentuk grafts/tulisan. Ortografi biasa juga disebut dengan istilah grafonomi. Grafonomi berbeda dengan grafologi. Perbedaan ini analog dengan perbedaan antara istilah astronomi dan astrologi. Dengan demikian dapat disebutkan secara singkat bahwa keduanya mengkaji tulisan, namun yang satu (grafonomi) menggunakan metode analisis secara rasional, sedangkan yang lain (grafologi) menggunakan metode analisis yang sifatnya supra natural.

 

Ortografi mengenal empat macam sistem, yakni: sitem ortografi fonetis, sistem ortografi fonemis, sistem ortografi silabis, dan sistem ortografi logografis. Dalam sistem ejaan fonetis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan suatu fona. Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penulisan bahasa Melayu Malaysia dalam huruf Latin. Dalam sistem ejaan fonemis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan suatu fonem. Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penults penulisan bahasa Indonesia dalam huruf Latin.

 

Dalam sistem ejaan silabis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan dart suku kata (silabel). Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penulisan bahasa Sansekerta dalam huruf Dewanagari. Dalam sistem ejaan logografis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan sebuah kata. Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penulisan bahasa Mandarin dalam huruf China. Penggunaan lambang

 

Dalam sistem ejaan fonetis maupun ejaan fonemis upaya untuk mewujudkan prinsip satu huruf untuk satu fona atau satu fonem ternyata banyak mengalami kesulitan sehingga mengakibatkan terjadinya aneka penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain berupa fenomena sebagai berikut:

Satu bunyi dilambangkan dengan dua huruf (x = ab), misalnya: angin [min], sunyi [surii].

Beberapa macam bunyi dilambangkan dengan satu macam huruf : (x/y/z = a), misalnya: oleh [oleh], telah [təlah], nenek [nεnε’].

Satu macam bunyi dilambangkan dengan beberapa macam huruf (x

= alb/c), misalnya: a [ə ] , the [đə] dalam bahasa Inggris (Soeparno, 2002: 116).

 

*Kajian Sosio-Fonologis*

Istilah sosio-fonologis analog dengan istilah sosio-linguistik. Apabila sosiolinguistik mengkaji bahasa dan kaca mata sosiologi, maka kajian sosio-fonologi di sini diartikan sebagai suatu kajian terhadap fenomena fonologi dari sudut pandang sosiologi.

Variasi fonologis dalam banyak bahasa ditemukan dalam bentuk alih nada pada tuturan para peminta-minta di perempatan-perempatan jalan. Alih nada dari nada biasa ke nada rendah disertai vibrasi khusus dapat menimbulkan kesan “memelas” sehingga memancing para pejalan kaki atau pengendara motor/mobil untuk mengulurkan sedekah. Varian fonetis semacam ini dinamakan Ken (Cant).

 

 

*Zeroisasi*

 

Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak menggangu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan karena secara diam-diam telah didukung dan disepakti oleh komunitas penuturnya.

 

Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung. Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi. Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.

 

*Anaptiksis*

 

Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012 : 126).

Anaptiksis adalah proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsoan dalam sebuah kata; atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. (Chaer 2009 : 105). Anaptiksis (suara bakti) adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud penambahan satu bunyi antara dua fonem dalam sebuah kata guna melancarkan ucapan. Jadi, anaptikis adalah perubahan bentuk kata dengan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan.

 

 

*Referensi*

cChaer, Abdul (2009). Fonologi Bahasa Indonesia. Bandung.

Chaer, Abdul (2009). Linguistik Umum. Bandung: Rineka Cipta. 979-518-587-X.

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta Widodo. 2004. Fonologi Bahasa Jawa. Semarang

Alwi, Hasan (Peny.) 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kridalaksana, Harimurti, 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Lass, Roger. 1988. Fonologi (Terj.) Warsono. Cambridg


Amanto, B. S., Umanailo, M. C. B., Wulandari, R. S., Taufik, T., & Susiati, S. (2019). Local Consumption Diversification. Int. J. Sci. Technol. Res, 8(8), 1865-1869.

 

Amri, M., Tahir, S. Z. A. B., & Ahmad, S. (2017). The Implementation of Islamic Teaching in Multiculturalism Society: A Case Study at Pesantren Schools in Indonesia. Asian Social Science, 13(6), 125.

 

Andini, K. NILAI BUDAYA SUKU BAJO SAMPELA DALAM FILM THE MIRROR NEVER LIES KARYA KAMILA ANDINI.

 

ARYANA, A. PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA.

Azwan, A. (2018). Politeness strategies of refusals to requests by Ambonese community. LINGUA: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 15(1), 1-6.

 

Bin-Tahir, S. Z., Atmowardoyo, H., Dollah, S., Rinantanti, Y., & Suriaman, A. (2018). MULTILINGUAL AND MONO-MULTILINGUAL STUDENTS’PERFORMANCE IN ENGLISH SPEAKING. Journal of Advanced English

Studies, 1(2), 32-38.

 

Bin Tahir, S. Z. (2017). Multilingual teaching and learning at Pesantren Schools in Indonesia. Asian EFL Journal, 89, 74-94.

 

Bin Tahir, S. Z. (2015). The attitude of Santri and Ustadz toward multilingual education at Pesantren. International Journal of Language and Linguistics, 3(4), 210-216.

 

Bin-Tahir, S. Z., & Rinantanti, Y. (2016). Multilingual lecturers’ competence in english teaching at the university of Iqra Buru, Indonesia. Asian EFL Journal, 5, 79-92.

Bin-Tahir, S. Z., Saidah, U., Mufidah, N., & Bugis, R. (2018). The impact of translanguaging approach on teaching Arabic reading in a multilingual classroom. Ijaz Arabi Journal of Arabic Learning, 1(1).

 

Bin-Tahir, S. Z., Bugis, R., & Tasiana, R. (2017). Intercultural Communication of a Multicultural Family in Buru Regency. Lingual: Journal of Language and Culture, 9(2), 8.

 

Djamudi, N. L., Nurlaela, M., Nazar, A., Nuryadin, C., Musywirah, I., & Sari, H. (2019, October). Alternative social environment policy through educational values in Kafi’a’s customary speech to the kaledupa community of Wakatobi Island, Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 343, No. 1, p. 012118). IOP Publishing.

 

Djunaidi, F. G., Azwan, A. Y. T., Iye, R., & bin Tahir, S. Z. Decks Range Gola Village Community Begun District Buton District North.

 

Indonesia, K. K. D. B. Morfologi Bahasa Indonesia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar