Sabtu, 18 Maret 2023

Artikel: Membedah Tokoh dan Penokohan Berdasarkan Teoritik

 

MEMBEDAH Tokoh dan Penokohan Berdasarkan Teoritik

*Pengertian Penokohan dan Tokoh*

 

Penokohan atau karakterisasi bermakna pemeranan dan pelukisan watak tokoh dalam karya fiksi (Minderop, 2005 :2). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan mempunyai makna yang lebih luas daripada tokoh. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita.

 

Penokohan dengan menggunakan nama tertentu dapat menggambarkan perasaan hati, pikiran, dan lamunan imajinasi tokoh lain. Pickering (1993:19) menyatakan bahwa penokohan dapat ditempuh melalui pembentukan kepribadian tokoh, identifikasi intelegensi, emosi, dan kualitas moral para tokoh.

 

Pradopo (1995:19) menglasifikasi pengembangan tokoh atas (a) deskripsi fisik (physical description), (b) deskripsi jalan pikiran pelaku (portrayal of thought stream or of concious thought),(c) reaksi pelaku terhadap peristiwa yang dihadapi (reaction to event) (d) analisis penulis secara langsung (direct author analisys) (e) pengarang melukiskan situasi sekitar pelaku (discussion of environment) (f) pandangan atau tanggapan pelaku bawahan terhadap pelaku utama (reaction of others to character) dan (g) pembicaraan pelaku terhadap pelaku yang lain (conversation of other about character).

Dengan adanya berbagai macam klasifikasi  penokohan ini bertujuan untuk mempermudah penikmat sastra dalam mengidentifikasi  peran apa yang sedang dibawakan oleh para pemeran . Selain peran juga terdapat jenis karakter yang dimainkan. Karakter-karakter tersebut adalah flat character, round character, teatrikal, dan karikatural. Keduanya sangat berhubungan erat sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk memudahkan mengklasifikasi jenis-jenis karakter, disini juga akan membahas mengenai teknik penggambaran tokoh.

 

Pengertian Penokohan Menurut Para Ahli

Pengertian penokohan menurut Dewojati (2010:169 )adalah unsur karakter yang dalam drama biasa disebut tokoh adalah bahan yang paling aktif untuk menggerakkan alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku tokoh. Perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita adalah pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada cerita (Hayati, 1990:119). 

 

Menurut Santosa, dkk (2008:90) penokohan merupakan usaha untuk membedakan peran satu dengan peran yang lain. Perbedaan-perbedaan peran ini diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini berhasil, maka perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan peran yang diidentifikasi tersebut. 

 

Penokohan atau perwatakan dalam sebuah lakon memegang peranan yang sangat penting. Egri dalam Santosa, dkk (2008:90), berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan tidak bakal ada alur. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran, tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita Hamzah (1985 dalam Santosa, dkk, 2008:90). 

 

Menurut Luxemburg, Bal, dan Weststeijn (1984:171), istilah tokoh dipergunakan apabila membahas mengenai sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sedangkan istilah pelaku bila kita membahas instasi atau peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa. 

 

Luxemburg membagi pelukisan watak menjadi dua, yaitu pelukisan watak secara eksplisit dan pelukisan watak secara implisit. Pelukisan watak secara eksplisit, watak seorang tokoh dapat dilukiskan oleh komentator seorang pelaku lain. Seorang tokoh juga dapat melukiskan wataknya sendiri. Di sini seluruh tokoh itu merupakan dasar apakah dia pantas dipercaya atau tidak.

 

Pelukisan watak secara implisit, pelukisan ini terjadi lewat perbuatan dan ucapan, dan sebetulnya lebih penting daripada pelukisan eksplisit.Hudson (1958 dalam Budianta, 2002:106) menyatakan bahwa alur lebih penting daripada tokoh karena tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu, dan tokoh lebih penting daripada alur karena alur hanya dipergunakan untuk mengembangkan tokoh. 

 

Hudson cenderung mengatakan bahwa pementingan terhadap tokoh lebih utama dibandingakan dengan pementingan terhadap alur, hal ini disebabkan sesuatu cerita akan meninggalkan kesan yang dalam dan bahkan mungkin abadi lantaran penokohan di dalam cerita itu begitu kuat dan meyakinkan dalam membangun alur cerita.

 

Dalam bukunya, Hudson mendefinisakan bahwa tokoh adalah unsur yang paling penting dalam  sebuah pementasan drama, karena tanpa adanya tokoh pasti tidak akan ada pementasan drama. Penokohan juga dapat digunakan untuk membedakan peran yang satu dengan peran yang lain, karena antara tokoh yang satu dengan yang lain akan mempunyai karakter yang berbeda-beda.

 

1.  Peran

Wahyuningtyas dan Santosa (2011:3) membagi tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya dibedakan menjadi tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. 

 

Tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa (Wiyatmi, 2006:50).

 

Menurut Santosa, dkk (2008:90), peran merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab dengan adanya peran maka timbul konflik. Konflik dapat  dikembangkan oleh penulis lakon melalui ucapan dan tingkah laku peran. Dalam teater, peran dapat dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi peran inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan peran. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut.

a.    Protagonis

            Protagonis adalah peran utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan peran adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai suatu cita-cita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Peran ini juga menentukan jalannya cerita.

 

b.    Antagonis

            Antagonis adalah peran lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif terhadap tokoh protagonis.


c.    Deutragonis

Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Peran ini ikut mendukung menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis.

 

d.    Tritagonis

Tritagonis adalah peran penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis.

 

e.    Foil

Foil adalah peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia diperlukan guna menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh antagonis.

 

f.      Utility

Utility adalah peran pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini mewakili jiwa penulis.

           

2.         Jenis Karakter

Kernodle (dalam Dewojati, 2010:170) mengungkapkan bahwa karakter biasanya diciptakan dengan sifat dan kualitas yang khusus. Karakter tidak hanya berupa pengenalan tokoh melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo atau irama permainan tokoh, tetapi juga sikap batin tokoh yang dimilikinya. Setiap karakter dalam sebuah lakon selalu berhubungan erat dengan karakter yang lain. 

 

Character adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams (1981) dalam wahyuningtyas (2011:5))Menurut Santosa, dkk (2008:91), karakter adalah jenis peran yang akan dimainkan, sedangkan penokohan adalah proses kerja untuk memainkan peran yang ada dalam naskah lakon. Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis peran tersebut sehingga bisa dimainkan. Menurut Saptaria (2006 dalam Santosa, dkk, 2008:91), jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character, round charakter, teatrikal, dan karikatural.

 

a.    Flat Character (Perwatakan Dasar)

            Flat character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis oleh penulis lakon secara datar dan biasanya bersifat hitam putih. Karakter tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Jadi perkembangan karakter seharusnya mengacu pada pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang.

 

Penulis lakon adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga ketika mencipta sebuah karakter dia bebas menentukan suatu perkembangan karakter. Flat character ini ditulis dengan tidak mengalami perkembangan emosi maupun derajat status sosial dalam sebuah lakon. Flat character biasanya ada pada karakter tokoh yang tidak terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi diperlukan dalam sebuah lakon.

 

b.    Round Character (Perwatakan Bulat)

Round character adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.

 

c.    Teatrikal

Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis. Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik dan non realis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan jaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia.

 

d.    Karikatural

Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir. Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh karakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah laku.

 

3.         Teknik Penggambaran Tokoh       

Adapun teknik penggambaran tokoh dalam menentukan suatu tokoh dalam sebuah drama. Teknik penggambaran tokoh menurut Altenbernd dan Lewis (1966 dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:4) sebagai berikut.

(1)   Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung.

(2) Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap, sifat, dan tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu teknik cakapan (percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan), teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan fisik tokoh).

 

A.     Struktur Dramatik

 

Kita banyak berhutang budi kepada Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang telah menulis Poetics untuk mengenali alur, karakter, pemikiran, diksi, musik, dan spektakel dari tragedi. Menurut Santosa, dkk (2008:76), struktur dramatik merupakan bagian dari alur karena di dalamnya merupakan satu kesatuan peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang memuat unsur-unsur alur. 



Struktur dramatik ini tidak  dapat dipisahkan dengan alur karena keduanya memiliki atau membentuk struktur dan saling berkesinambungan dari awal cerita sampai akhir. Fungsi dari struktur dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat mengungkapkan pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton ke dalam laku cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemen-elemen pembentuk struktur yang terdiri dari eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan kesimpulan.

 

1.         Piramida Freytag

Ide Aristoteles tentang alur drama kemudian dikembangkan oleh Gustav Fteytag (Dewojati, 2010:164). Freytag dalam Santosa, dkk (2008:76) menyatakan bahwa dalam  menggambarkan struktur dramatiknya mengikuti elemen-elemen tersebut dan menempatkannya dalam adegan-adegan lakon sesuai laku dramatik yang dikandungnya. Struktur Freytag ini dikenal dengan sebutan piramida Freytag.

 

a.    Eksposisi

Eksposisi adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter, masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi atas masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon.

b.    Komplikasi  (Rising Action)

Pada bagian ini mulai terjadi kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi jalinan peristiwa. Disini juga sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehingga timbul frustasi, amukan, ketakutan, dan kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakter-karakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik tersebut.

 

c.    Klimaks

Klimaks adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran. Dengan terbongkarnya semua masalah yang melingkupi keseluruhan lakon diharapkan penonton akan mengalami katarsis atau proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya murni pada jiwa penonton.

 

d.    Resolusi (Falling Action )

Resolusi adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah diajak naik dan dipermainkan. Falling Action ini juga berfungsi untuk memberi persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan apa yang telah ditonton. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan, dan volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan.

 

e.    Kesimpulan (Denoument)

Kesimpulan adalah penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita atau sedih.

           

Menurut Dewojati (2010:164), pola struktur alur Freytag seperti di atas tidak dipakai secara patuh oleh para penulis drama modern. Pada drama modern biasanya posisi klimaks diletakkan di dekat bagian akhir cerita (Whiting dalam Dewojati (2010:165)).

 

2. Skema Hudson

 

Menurut Hudson dalam Tambajong (1981:35), alur dramatik tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku. Garis laku lakon dalam skema ini juga melalui bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

 

a.    Eksposisi

Pada bagian eksposisi ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan dan membeberkan karakter-karakter yang ada, dimana terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter yang ada dan lain sebagainya.

 

b.    Insiden Permulaan

Pada insiden permulaan ini mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu. Insiden-insiden ini akan menggerakkan alur dalam lakon.

 

c.    Pertumbuhan Laku

Pada bagian ini merupakan tindak lanjut dari insiden-insiden yang teridentifikasi tersebut. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari konflik tersebut terasa samar-samar dan tak menentu.

 

d.    Krisis atau Titik Balik

Krisis adalah keadaan dimana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan sehingga emosi penonton tidak bisa apa-apa. Menurut Hudson dalam Santosa, dkk (2008:80), klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik balik sudah menunjukan suatu peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun.

 

e.    Penyelesaian atau Penurunan Laku

Penyelesaian atau denoument yaitu bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi dan jalan keluar dari konflik tersebut sudah menemukan jalan keluarnya.

 

f.      Catastroph

Semua konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu yang membahagiakan maupun akhir sesuatu yang menyedihkan.

2.       Tensi Dramatik

Mathews dalam Santosa, dkk (2008:80), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan cerita satu lakon memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam masing-masing bagiannya. Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang dibicarakan atau dihadapi. 



Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan. Titik berat penekanan tegangan pada masing-masing bagian akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor sehingga mereka tidak kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur irama aksi.

a.    Eksposisi

Bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan-keterangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti. 



Nilai tegangan dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan.

 

b.    Penanjakan

Sebuah peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.

 

c.    Komplikasi

Komplikasi merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang.

 

d.    Klimaks

Nilai tertinggi dalam perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun sejak awal mengalami puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini.

 

e.    Resolusi

Mempertemukan masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi.

 

f.      Konklusi

Tahap akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks.

           

 

3.         Turning Point

Model struktur dramatik dari Cassady dalam Santosa, dkk (2008:82) menekankan pentingnya turning atau changing point (titik balik perubahan) yang mengarahkan konflik menuju klimaks. Titik balik ini menjadi bidang kajian yang sangat penting bagi sutradara berkaitan dengan laku karakter tokohnya sehingga puncak konflik menjadi jelas, tajam, dan memikat.

           

 

4.         Alur Dramatik Kernodle

            Kernodle dalam Dewojati (2010:167) membagi perkembangan alur menjadi beberapa bagian seperti berikut.

a.    Eksposisi

Menjelaskan kepada penonton apa yang telah terjadi sebelumnya dan bagaimana situasinya sekarang ini. Selanjutnya, alur kemudian bergerak ke titik serangan yang memicu munculnya kekuatan penggerak.

 

b.    Komplikasi

Munculnya komplikasi demi komplikasi dalam cerita yang menimbulkan ketegangan. Kemudian ketegangan meningkat dalam build (pertumbuhan), yang lambat laun membesar dan menimbulkan minor climax (klimaks kecil), yang lalu diikuti oleh penurunan.

 

c.    Antisipasi atau Pratanda

Terdapat konflik masa depan. Hal ini ditegaskan dengan adanya situasi “ancaman” yang mendorong  masuknya peristiwa ke dalam ketegangan besar, krisis besar, memuncaknya ketegangan dalam klimaks besar.

 

d.    Conclusion

 

5.         Alur Dramatik Lynn Altenbernd dan Leslie L. Lewis

Menurut Altenbernd dalam Dewojati (2010:186), konflik adalah dasar sebuah alur karena alur terbangun dengan adanya konflik-konflik yang muncul dalam drama.

 

D. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan unsur penting dalam sebuah pementasan drama. Dengan adanya penokohan ini penonton bisa membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lainnya karena setiap tokoh mempunyai peran dan karakter yang berbeda-beda yaitu protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, foil, utility atau flat characterround character, teatrikal, dan karikatural. 



Struktur dramatik merupakan bagian dari alur sehingga struktur dramatik dan alur ini tidak dapat dipisahkan. Bila alur tidak ada maka struktur dramatik ini juga tidak akan ada karena struktur dramatik mengacu pada alur. Struktur dramatik menjelaskan lebih mendetail mengenai unsur-unsur alur dengan berbagai pendapat para ahlinya.



Jenis-Jenis Tokoh

Tokoh dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan menjadi bermacam- macam berdasarkan segi tinjauannya, antara lain: berdasarkan peranannya, berdasarkan perwatakannya, dan berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan, serta berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan, serta berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata.

Berdasarkan peranannya, tokoh dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan terpenting dalam cerita dan menjadi pendukung ide utama dalam cerita.

 Tokoh utama dalam sebuah karya sastra tidak selalu satu orang saja, bisa lebih. Karya sastra yang terdiri dari lebih satu tokoh utama, tokoh utamanya tidak memiliki peranan yang sama, yang satu lebih penting dari yang lain.

Tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung perwatakan tokoh utama yang kehadirannya lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh utama. Kehadirannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung maupun tidak langsung

Nurgiyantoro 2000:176-177. Altenbernd dan Lewis Nurgiyantoro 2000:178-179 mengatakan bahwa tokoh dapat ditinjau berdasarkan fungsi penampilannya, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita.

Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis dapat disebut tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun batin.

 Berdasarkan perwatakannya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu dan sifat atau watak tertentu. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak tertentu.

Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh ini memliki watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan sulit diduga.

Abrams dalam Nurgiyantoro 2000:181-183. Ditinjau dari kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh terdiri atas tokoh statis dan tokoh berkembang.

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa ytang terjadi.

Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan atau perubahan peristiwa atau plot yang dikisahkan

Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro 2000:188. Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok kehidupan manusia dari kehidupan nyata, tokoh terdiri atas tokoh tipikal dan tokoh netral.

 Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh ini merupakan penggambaran terhadap orang atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata.

Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir semata-mata demi cerita atau bahkan dialah yang mempunyai cerita dan pelaku yang diceritakan

Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro 2000:190-191. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pada hakikatnya jenis- jenis tokoh dalam sebuah karya sastra ditinjau dari segi perannya dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan.

Tokoh utama memegang kendali terpenting dalam sebuah fakta cerita, sedangkan tokoh bawahan hanya  sedikit kehadirannya dalam cerita.

Menurut fungsinya terdapat tokoh protagonis yaitu tokoh baik dan disenangi, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh jahat atau tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.

Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita. Tokoh terbagi atas tokoh utama dan tokoh tambahan.

  • Tokoh utama merupakan tokoh yang melakukan interaksi secara langsung atau terlibat dalam konflik.
  • Tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya diungkapkan dalam cerpen tanpa adanya interaksi yang dilakukan tokoh atau tokoh yang tidak terlibat dalam konflik.

Tokoh dalam cetita fiksi juga dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan atau pembantu, yaitu:
1.Tokoh utama, dengan indikasi/ciri:
    1) tokoh tersebut sering muncul;
    2) tokoh yang sering diberi komentar.
2.Tokoh tambahan/pembantu, dengan indikasi/ciri:
    1) tokoh yang mendukung tokoh utama;
    2) tokoh yang hanya diberi komentar alakadarnya.

Tokoh dalam unsur intrinsik cerpen dibagi menjadi tiga karakter, yaitu:

·        1. Tokoh Protagonis: tokoh utama pada cerita.

·        2. Tokoh Antagonis: tokoh penentang atau lawan dari tokoh utama.

·        3. Tokoh Tritagonis: penengah dari tokoh utama dan tokoh lawan.

·        4. Tokoh figuran, yaitu tokoh dalam cerpen yang menjadi tokoh pembantu dan memberi warna pada cerita.

5 Jenis-Jenis Tokoh Berdasarkan Peranannya dalam Cerita Bahasa Indonesia

Selain alur dan latar, tokoh atau penokohan juga merupakan elemen penting dalam suatu cerita. TAnpa adanya tokoh, maka sebuah cerita mungkin tidak akan pernah dibuat. Tokoh sendiri terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan peranannya dalam suatu cerita. Kesemua tokoh itu akan dibahas khusus di dalam artikel kali ini. Adapun pembahasan yang dimaksud adalah sebagaimana berikut ini!

A. Protagonis

Jenis-jenis tokoh berdasarkan peranannya yang pertama adalah tokoh protagonis. Tokoh ini biasanya merupakan tokoh yang paling disenangi oleh pembaca. Sebab, tokoh ini selalu diidentikkan dengan sifat-sifat baik yang ada di dalam diri manusia, seperti: optimistis, dermawan, penolong, bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Contohnya: Pandawa Lima, Si Pitung, Semar, dan lain sebagainya.

B. Antagonis

Kebalikan dari tokoh protagonis, tokoh antagonis justru merupakan tokoh yang amat tidak disukai pembaca. Hal ini dikarenakan tokoh ini selalu diidentikan sebagai sosok jahat dan punya sejumlah watak negatif lainnya, seperti: curang, kejam, manipulatif, dan lain sebagainya. Selain itu, tokoh antagonis sendiri selalu digambarkan sebagai tokoh yang selalu mengganggu dan menghambat tujuan dari si tokoh utama.

Bersama dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis bisa dibilang merupakan tokoh paling penting dan menjadi pusat perhatian dalam suatu cerita. Maka tak heran, bila para pembaca biasanya akan selalu tertarik dengan perseturan antara dua tokoh tersebut. Adapun beberapa contoh tokoh antagonis antara lain: Duryudhana, Rahwana, dan lain sebagainya.

C. Tritagonis

Jenis-jenis tokoh berdasarkan pernannya yang selanjutnya adalah tritagonis. Tokoh ini merupakan tokoh penengah yang menengahi konflik antara si protagonis dan si antagonis. Sebagai penengah, tokoh ini biasanya tidak memihak sama sekali kepada salah satu dari dua tokoh tersebut.

D. Deutragonis

Tokoh ini merupakan tokoh yang ada di belakang tokoh protagonis. Bisa ndibilang kalau deutragonis merupakan tokoh yang berpihak sekaligus membantu protagonis guna menyelesaikan konfliknya dengan tokoh antagonis. Meskipun berperan sebagai pendukung protagonis, tokoh ini justru seringkali luput dari perhatian pembaca. Hal ini disebabkan karena tokoh ini memang tidak terlalu ditonjolkan sosoknya dalam cerita, kendatipun berperan sangat penting dalam membantu protagonis dalam menyelesaikan permasalahannya.

E. Foil

Kebalikan dari deutragonis, tokoh ini justru merupakan tokoh pendukung antagonis. Sama seperti deutragonis, tokoh satu ini juga biasanya sering tidak terlalu diperhatikan pembaca, kendatipun perannya cukup krusial bagi sang tokoh antagonis.

Dari pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa jenis-jenis tokoh berdasarkan peranannya dalam cerita bahasa Indonesia terdiri atas lima tokoh. Tokoh-tokoh tersebut terbagi atas dua tokoh yang biasanya digambarkan sebagai pihak yang baik (protagonis dan deutragonis), dua tokoh yang biasanya digambarkan sebagai pihak yang jahat atau lawannya pihak baik (antagonis dan foil), dan satu tokoh yang digambarkan sebagai sosok netral (tritagonis)

 

Sementara itu, penokohan merupakan watak atau karakter tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita. Contohnya, tokoh Bandung Bondowoso dalam cerita Roro Jonggrang yang memiliki watak gigih.

Penokohan

Istilah penokohan lebih luas dari pada tokoh dan perwatakan. Penokohan dalam unsur intrinsik cerpen mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Penokohan dalam unsur intrinsik cerpen merupakan penentuan watak atau karakter dari tokoh tersebut. Penokohan ini bisa digambarkan dalam sebuah ucapan, pemikiran dan pandangan saat menyelesaikan suatu masalah. Begitu juga melalui penjelasan narasi atau penggambaran fisik tokoh tersebut.

Abrams, Baldic (2001:37) dalam Nurgiyantoro (2013), menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.

 Tokoh cerita (character), sebagaimana dikemukakan Abrams (1999:32-33) dalam Nurgiyantoro (2013), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama komik itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah tokoh komik itu?”, dan sebagai-nya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. 

Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

 

Beberapa cara yang dapat digunakan pengarang untuk menggambarkan rupa, watak tokoh/pelaku:
1.Melukiskan bentuk lahir pelaku;
2.Melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas dalam pikirannya;
3.Melukiskan bagaimana reaksi pelaku terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya;
4.Pengarang secara langsung menganalisis watak pelaku;
5.Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku;
6.Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelaku lain dalam cerita terhadap pelaku utama;
7.Para pelaku lain dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelaku utama, sehingga secara tidak langsung pembaca dapat menangkap kesan segala sesuatu tentang pelaku utama.

Penokohan terdiri atas tiga variasi, yaitu:
1.Teknik ekspositori atau teknik analitis adalah teknik yang pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Hal semacam ini biasanya terdapat pada tahap perkenalan.
2.Teknik dramatik adalah teknik pelikisan tokoh cerita yang pengarangnya tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Sifatnya lebih sesuai dengan sisi kehidupan nyata. Jika teknik ekspositoris pengarang memberikan deskripsi, dalam teknik dramatik para tokoh ditampilkan mirip dengan drama. Dengan teknik ini cerita akan lebih efektif.

1)Teknik Cakapan

Teknik cakapan adalah teknik percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita yang  juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.

2)Teknik Tingkah Laku

Teknik tingkah laku adalah teknik yang menyarankan pada tindakan yang bersifat   nonverbal, fisik.

3)Teknik Pikiran dan Perasaan

Teknik pikiran dan perasaan adalah teknik yang melintas dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang dipikir dan dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal yang akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua.

4)Teknik Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran (steam of consciousness) adalah teknik yang merupakan sebuah karya narasi yang berusaha  menangkap pandangan dan proses mental tokoh, tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, persaan, ingatan, harapan dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams, dalam Nurgiantoro 2002: 206).

5)Teknik  Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh adalah suatu reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata dan sikap serta tingkah-laku orang lain dan sebagainya yang merupakan “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar dan lain-lain.

6)Teknik Pelukisan Latar

Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagi teknik yang lain.

7)Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaanya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.

3. Teknik identifikasi tokoh. Untuk mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh cerita, kita perlu mengidentifikasi kedirian tokoh-tokoh secara cermat dengan usaha-usaha melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Prinsip Pengulangan

Prinsip pengulangan adalah prinsip yang dapat menemukan dan mengidentifikasi adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku pada bagian-bagian berikutnya.

2) Prinsip Pengumpulan

Prinsip pengumpulan adalah suatu prinsip yang dapat mengungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data kedirian yang “tercecer” diseluruh cerita tersebut.



3) Prinsip Kemiripan dan Pertentangan

Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA Mansyur, Umar. 2016. Pemanfaatan Nilai Kejujuran dalam Cerpen sebagai Bahan Ajar Cerpen Berbasis Pendidikan Karakter. In Mengais Karakter dalam Sastra: HIKSI Makassar (pp. 330-339). http://doi.org/10.17605/OSF.IO/Z4T3Y Mansyur, Umar. 2018. Kiat dan Teknik Penulisan Skripsi bagi Mahasiswa. INA-Rxiv. https://doi.org/10.31227/0sf.oi/juds7 Muliadi, 2017. Buku Ajar Telaah Prosa: Sebuah Terapan. Makassar: De La Macca. Nektariti. 2013. https://www.rumpunnektar.com/2013/1/perbedaan_tokoh_dengan_ penokohan.html?m=1 diakses pada tanggal 20 Oktober 2018. Nurgiyantoro, Burhan. 2015 . Teori Pengajaran Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prameswari, Arsya. 2017.https://www.academia.edu/35640183/MAKALAH_KAJIAN_ PROSA_FIKSI_PENOKOHAN_DAN_KARAKTERISASI_KELOMPOK_4 diakses pada tanggal 20 Oktober 2018. Warnati. 2014. https://warnati094.blogspot.com/2014/06/tokoh-dan-penokohan-telaahprosa.html?m=. diakses pada tanggal 20 Oktober 2018. Warsiman. 2013. Membangun Pemahaman Terhadap Karya Sastra Berbentuk Fiksi (Telaah Sifat dan Ragam Fiksi Naratif). Jurnal Thaqafiyyat, Vol. 14(1), 180-183.

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 

Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.

Sumarwahyudi. 2011. Filsafat Ilmu Seni. Malang: Pustaka Kaiswaran.

Supriyono. 2011. Tata Rias Panggung. Malang: Bayumedia Publishing.

Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi. Bandung: Harapan Bandung.

Wahyuningtyas, Sri, dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.Wariatunnisa,            Alien dan Yulia Hendrilianti. 2010. Seni Teater untuk SMP atau MTs Kelas VII, VIII, dan IX (Rahmawati, Irma dan Ria Novitasari, Ed). Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.

Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo Anggota Ikapi.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar