R. Purwantaka
*“ Mengubah Rutinitas
Memaafkan Menjadi Kemuliaan”*
(“ Apakah kita akan menjadi Manusia Fiqh,
Manusia Akhlaq, Manusia Taqwa ? (Cak Nun )
Bukankah
ada seorang sahabat yang dijamin masuk surga karena selalu memaafkan kesalahan
yang telah diperbuat oleh orang-orang kepadanya setiap sebelum tidur? Orang
yang berjiwa besar adalah orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain
walaupun betapa sakit hati ketika kesalahan itu dilakukan ke atas dirinya
karena menyadari bahwa memaafkan juga meraih kasih sayang Allah SWT. Bukankah
Allah memiliki nama “Al-Afuwwu” – Maha Pemaaf-, maka ketika kita memaafkan
kesalahan orang lain kita sedang berusaha mendekatkan diri dengan Sang Maha
Pemaaf.
Allah saja menyediakan empat sifat pemaaf, bagaimana mungkin manusia memiliki kepantasan untuk tidak memaafkan sesamanya? Pada lapisan hukum atau fiqh agama, memaafkan bukan kewajiban, melainkan dianjurkan dengan sangat, dengan tujuan agar manusia menapaki kemungkinan untuk meningkat kebesaran jiwa dan kemuliaan hidup.
Akan tetapi pada
tataran moral, memaafkan itu “wajib” karena akal pikiran dan rasa kebersatuan
antar manusia menyimpulkannya demikian. menaikkan derajat manusia dari fiqh ke akhlaq, agar mencapai
puncaknya, yakni taqwa. manusia taqwa, Anda akan
menemukan kenikmatan yang tidak bisa dibayangkan oleh segala daya upaya akal
maupun pengimajinasian perasaan.
Memaafkan adalah
kontrak abadi kehidupan, karena betapa malunya di hadapan Allah kalau sampai tidak memaafkan yang Ia sendiri begitu sangat
pemurah untuk memaafkan. Orang yang baik
itu adalah orang mampu memaafkan orang lain. Karena memaafkan itu adalah salah
satu sifat yang mulia. Karena itu, lapangkan hati untuk memaafkan orang yang
pernah menyakiti dan mendzolimi diri kita.
Referensi .
Buku Tuhan pun “Berpuasa”,
1997, diterbitkan oleh Penerbit Zaituna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar