R. Purwantaka
*” Maaf Dalam Perspektif
Bahasa“*
( Deep Meaning )
*(Meminta maaf itu penting dan
tidak boleh ditunda, dan memaafkan, tidak perlu menunggu kata maaf dari orang
yang telah berbuat salah padamu.)*
Kata maaf memang mudah
diucapkan, namun, tidak semua orang bisa melakukannya dengan keikhlasan hati.
Padahal kalau kita bisa melakukannya dengan tulus, akan sangat bermanfaat dan
membuat hidup lebih tenteram. Untuk itu, sebaiknya kamu segera belajar memberi
dan meminta maaf dengan baik sebelum hal-hal buruk terjadi.
Istilah “maaf” sepertinya tidak akan pernah
bisa dipisahkan dari istilah lain yaitu “kesalahan”. Kedua kata ini seakan
saling terikat satu sama lain. Sejalan dengan statement sebelumnya,
maka akan lebih mudah bagi kita untuk melakukan banyak “kesalahan” ketimbang
mengeluarkan sebuah kata “maaf” dari mulut kita. Memang benar bahwa Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) *mengungkapkan
bahwa kata “maaf” memiliki 3 makna. Makna yang pertama adalah pembebasan
seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu
kesalahan. Kedua, kata “maaf” dapat berarti sebagai ungkapan permintaan ampun
atau penyesalan. Terakhir, kata “maaf” mengandung makna ungkapan permintaan
izin untuk melakukan sesuatu. Bagi saya pribadi, cukup menarik untuk membahas 2
makna dari kata “maaf” menurut KBBI, yaitu pembebasan dari hukuman dan
penyesalan.*
Kata “maaf” pun sangat
bergantung pada nilai-nilai yang kita anut sebagai seorang individu Seberapa
penting kita melihat “harga diri” kita . Kata “maaf” pun semakin sulit untuk
kita kemukakan, ketika kita melihat “harga diri” kita adalah yang terutama,
tanpa menghargai apa yang dirasakan oleh orang lain di sekitar kita.
Ketika kita berbicara mengenai “harga diri”,
maka kita tidak bisa terlepas dari apa yang kita sebut sebagai “gengsi”, dan
kita harus akui bahwa tidak mudah untuk melepaskan “gengsi” kita. Baik
memaafkan seseorang, maupun meminta maaf kepada seseorang, tidak akan terjadi
ketika kita masih terfokus kepada apa yang kita sebut “gengsi”.
Seorang guru tidak akan pernah mengakui
kesalahan di depan para murid-muridnya, apabila sang guru merasa bahwa
seharusnya dirinyalah yang selalu benar, dan murid-murid adalah pihak yang
selalu salah. Baik “gengsi” dan “harga diri”,
sama-sama menjadi penghambat apabila kita ingin membicarakan “maaf”.
Mungkin satu hal yang bisa kita pelajari
adalah jika kita ingin belajar untuk memaafkan seseorang atau meminta maaf
kepada seseorang, maka belajarlah untuk menurunkan derajat “gengsi”
yang kita miliki. Ketika itu terjadi, maka pintu “maaf” akan mulai terbuka bagi
kita.
Ketika pintu “maaf”
telah terbuka, muncul pertanyaan kedua yaitu apakah kita benar-benar tulus
dengan “perilaku saling maaf memaafkan” yang telah kita lakukan. mungkin inilah
gambaran ketika “maaf” menjadi sebuah hal yang “tidak bernilai”, karena tidak
adanya ketulusan hati ketika mengemukakan “maaf” tersebut.
Menurunkan derajat “gengsi” yang dimiliki
untuk meminta maaf kepada seseorang merupakan perbuatan yang mengagumkan. Jika
dimaafkan maka terbuka peluang baginya
untuk mendapatkan kembali harga diri di mata orang lain.
Mungkin bagi kita yang
hidup di dalam dunia yang semakin individualistis ini, kata “maaf” sepertinya
sudah mulai kehilangan “sihirnya”. Setiap insan manusia saat ini sepertinya
sudah mulai melupakan makhluk apakah manusia ini.
Tuhan sudah menciptakan manusia untuk menjadi
makhluk sosial, di mana hubungan antar manusia adalah sebuah keniscayaan, dan
tentunya “maaf” merupakan sebuah kebutuhan. Sayangnya, “maaf” saat ini hanya
menjadi “pelengkap”, jika memang benar-benar dibutuhkan barulah digunakan.
Mungkin saat ini “gengsi” dapat dengan mudah
seseorang kurangi demi sebuah “maaf”. Mungkin saat ini seseorang dapat dengan
mudah berkata, “Aku sudah memaafkan kamu,” atau, “Saya tahu saya salah. Saya
ingin meminta maaf dan memperbaiki kesalahan saya.”
Saya yakin kata-kata tersebut akan keluar
dengan mudahnya, ketika kita memang sedang di dalam keadaan dimana mau tidak
mau kita mengeluarkan kata “maaf”. Ketika kita sedang takut kehilangan
pekerjaan, maka dengan mudahnya kita akan meminta maaf kepada atasan kita,
walaupun kita ngedumel ketika kita pulang dari kantor.
Ketika kita sudah tahu telah melanggar aturan lalu lintas, dengan mudahnya kita
mengeluarkan kata “maaf” kepada polisi agar tidak ditilang,
Ketika seoarang anak membutuhkan uang jajan
dari ibunya, maka dengan mudahnya keluar kata “maaf”, walaupun sang anak telah
membuat ibunya kecewa. Apakah ini adalah “maaf” yang sesungguhnya? Apakah
“maaf” akan muncul ketika dibutuhkan untuk memuluskan sebuah tujuan?
Apakah “maaf” akan muncul hanya ketika kita
merasa terpaksa untuk melakukannya? Begitu banyak pertanyaan yang ada di saat
ini, apakah “maaf” sudah tidak ada nilainya. Jika memang “maaf” bernilai, maka
nilainya hanya sebatas pelengkap dan pemulus sebuah tujuan
tertentu.
Saya yakin pasti ada orang yang dapat
memberikan kata “maaf” dengan tulus, walaupun mungkin orang-orang tersebut
sangat jarang adanya saat ini, dan saya berharap akan adanya orang-orang yang
tulus ketika menyebutkan kata “maaf”. Namun, bukankah akan lebih mudah untuk
mengeluarkan kata “maaf” ketika kita membutuhkan sesuatu?
*“Apakah saya sudah melakukan “maaf” dengan
benar? Atau saya hanyalah bagian dari kelompok, yang menganggap “maaf” sebagai
salah satu senjata dalam mengarungi kehidupan ini?”*
*Ketika kesetiaan
menjadi barang mahal. Ketika kata maaf terlalu sulit
untuk diucap. Ego siapa yang sedang berkecamuk ?*
*Takan mulia kau
menunggu permintaan maaf. Takan hina kau
meminta maaf terlebih dahulu.*
*Kadang mengalah dan
meminta maaf itu lebih baik daripada menjelaskan
segalanya kepada orang yang tak mau mengerti.*
*Bertahan melawan
logika aku masih mampu. Setengah gila mengingkari perasaanku, tersudutku tanpa
ampun. Maaf aku tak mampu.*
*Anda akan belajar,
saat usia bertambah, bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar. Cukup berani untuk
hidup pada istilah Anda, dan tidak pernah meminta maaf untuk itu.*
*Orang lemah tidak
pernah bisa memaafkan karena memberi maaf hanya dapat dilakukan
oleh orang yang kuat.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar