“ BAHAYA KONSUMERISME DALAM PUASA “
Oleh : Ustadz Taka
Tanpa kita sadari,
umat Islam pada setiap Ramadhan tiba selalu
diposisikan sebagai konsumen potensial untuk meraup keuntungan bisnis.. Sepertinya
ibadah puasa nantinya kurang sempurna jika tidak mengkonsumsi makanan serta
minuman tertentu atau segala yang disodorkan oleh media dan iklan dengan
mengatasnamakan agama.
Nafsu manusia memang seperti air. Tidak pernah terhenti untuk selalu mengalir. Namun bukan berarti kita tidak bisa menahannya. Di bagian lain Nabi saw mencontohkan, “berbuka puasalah kamu dengan tiga butir kurma dan seteguk air minum setelah itu bersegeralah salat magrib.” Itu artinya, puasa Ramadhan bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus tetapi juga menahan nafsu dan keinginan hedonistis. Karena itu, semoga di bulan Ramadhan ini, kita bisa mengambil hikmah untuk bisa menjalankan hidup sederhana.
Nafsu manusia memang seperti air. Tidak pernah terhenti untuk selalu mengalir. Namun bukan berarti kita tidak bisa menahannya. Di bagian lain Nabi saw mencontohkan, “berbuka puasalah kamu dengan tiga butir kurma dan seteguk air minum setelah itu bersegeralah salat magrib.” Itu artinya, puasa Ramadhan bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus tetapi juga menahan nafsu dan keinginan hedonistis. Karena itu, semoga di bulan Ramadhan ini, kita bisa mengambil hikmah untuk bisa menjalankan hidup sederhana.
Pandangan Islam
Sifat mubazir (mengkonsumsi secara berlebihan) selain sangat
dikecam oleh Islam, juga merupakan simbol ketidakpedualian sosial terhadap
mereka yang serba kekurangan tadi. Agama kita tidak melarang kita makan atau
pun minum apa saja yang halal, namun dengan syarat semua itu tidak dilakukan
secara berlebihan. Allah Swt berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا
تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan
makanlah kamu sekalian dan minumlah, akan tetapi janganlah kamu berlebihan”
(QS. al-A’raf: 31).
Islam memandang mulia kedudukan orang-orang yang memiliki
kekayaan (aghniyâ’). Sebab mereka dapat memberi manfaat besar bagi lingkungan
dan deerah di mana ia hidup. Bahkan dalam perspektif Islam, manusia terbaik
adalah orang yang paling bermanfaat bagi yang lain (khairunnâs
‘anfa’uhumlinnâs). Sebab, seperti disebut Nabi, orang kaya merupakan salah satu
pilar atau sendi bangunan masyarakat yang sejahtera, disamping penguasa, ulama,
dan do’a para fakir miskin (al-Hadîs).
Seorang Muslim yang memiliki budaya berbagi ditandai oleh bahwa ia yakin sepenuhnya bahwa pemilik hakiki dari kekayaannya adalah Allah SWT, yang ia miliki adalah hak guna pakai. Dengan demikian ia tidak penah sombong karena kepemilikannya., . Orang yang memiliki budaya berbagi selalu sadar bahwa fungsinya hanyalah fungsi distributif. Oleh karenanya ia selalu berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas kekayaannya secara legal, kemudian memiliki kepedulian dengan membagi hak-hak orang lain yang ada dalam hartanya. Mempunyai sifat humanistik, dia sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa. Ia tidak akan menganggap enteng orang ia pernah atau sering memberi kepadanya. Mempunyai sifat amanah, memiliki kesadaran bahwa apa yang dimilikinya adalah titipan Tuhan yang sewaktu-waktu dapat diambil-Nya. Untuk itu ia akan bertindak sebagai pemegang amanah yang baik, menggunakan kekayaannya hanya untuk sesuatu yang direstui pemiliknya, Allah Swt.
Seorang Muslim yang memiliki budaya berbagi ditandai oleh bahwa ia yakin sepenuhnya bahwa pemilik hakiki dari kekayaannya adalah Allah SWT, yang ia miliki adalah hak guna pakai. Dengan demikian ia tidak penah sombong karena kepemilikannya., . Orang yang memiliki budaya berbagi selalu sadar bahwa fungsinya hanyalah fungsi distributif. Oleh karenanya ia selalu berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas kekayaannya secara legal, kemudian memiliki kepedulian dengan membagi hak-hak orang lain yang ada dalam hartanya. Mempunyai sifat humanistik, dia sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa. Ia tidak akan menganggap enteng orang ia pernah atau sering memberi kepadanya. Mempunyai sifat amanah, memiliki kesadaran bahwa apa yang dimilikinya adalah titipan Tuhan yang sewaktu-waktu dapat diambil-Nya. Untuk itu ia akan bertindak sebagai pemegang amanah yang baik, menggunakan kekayaannya hanya untuk sesuatu yang direstui pemiliknya, Allah Swt.
Karena itu, sepantasnya Ramadhan dimanfaatkan secara optimal oleh semua unsur untuk meningkatkan kreatifitas dan karya. Sikap dan kepribadian positif, produktif, empatik, dan menghadirkan keputusan win-win solution adalah sosok pribadi yang lulus secara gemilang dari madrasah Ramadhan yang penuh solusi.
Perlu bagi umat untuk kembali
merenungkan ungkapan terakhir dari surat al-Baqarah:183, bahwa yang mewajibkan
puasa adalah la’allakum tattaqun dalam
kata kerja mudhari yang hendaknya dimaknai agar dapat merealisasikan
nilai-nilai muraqabatullah,
ketaatan, dan kasih sayang secara terus-menerus, tidak hanya di saat bulan
Ramadhan. Tidak mengembangkan sifat konsumerisme yang dapat berakibat sombong,
tamak, Tidak ada ajaran Islam yang menganjurkan utuk berboros-boros sat puasa.
Sujudku pada Mu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar