MEMBEDAH
Tokoh dan Penokohan Berdasarkan Teoritik
*Pengertian Penokohan dan Tokoh*
Penokohan atau karakterisasi
bermakna pemeranan dan pelukisan watak tokoh dalam karya fiksi (Minderop, 2005
:2). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan mempunyai makna yang lebih
luas daripada tokoh. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita.
Penokohan dengan menggunakan nama
tertentu dapat menggambarkan perasaan hati, pikiran, dan lamunan imajinasi
tokoh lain. Pickering (1993:19) menyatakan bahwa penokohan dapat ditempuh
melalui pembentukan kepribadian tokoh, identifikasi intelegensi, emosi, dan
kualitas moral para tokoh.
Pradopo (1995:19) menglasifikasi
pengembangan tokoh atas (a) deskripsi fisik (physical description), (b)
deskripsi jalan pikiran pelaku (portrayal of thought stream or of concious
thought),(c) reaksi pelaku terhadap peristiwa yang dihadapi (reaction to event)
(d) analisis penulis secara langsung (direct author analisys) (e) pengarang
melukiskan situasi sekitar pelaku (discussion of environment) (f) pandangan
atau tanggapan pelaku bawahan terhadap pelaku utama (reaction of others to character)
dan (g) pembicaraan pelaku terhadap pelaku yang lain (conversation of other
about character).
Dengan
adanya berbagai macam klasifikasi penokohan ini bertujuan untuk
mempermudah penikmat sastra dalam mengidentifikasi peran apa yang sedang
dibawakan oleh para pemeran . Selain peran juga terdapat jenis karakter yang
dimainkan. Karakter-karakter tersebut adalah flat character, round
character, teatrikal, dan karikatural. Keduanya sangat
berhubungan erat sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk
memudahkan mengklasifikasi jenis-jenis karakter, disini juga akan membahas
mengenai teknik penggambaran tokoh.
Pengertian Penokohan Menurut Para Ahli
Pengertian
penokohan menurut Dewojati (2010:169 )adalah unsur karakter
yang dalam drama biasa disebut tokoh adalah bahan yang paling aktif untuk
menggerakkan alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapkan alasan
logis terhadap tingkah laku tokoh. Perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita
adalah pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh
yang terdapat pada cerita (Hayati, 1990:119).
Menurut
Santosa, dkk (2008:90) penokohan merupakan usaha untuk membedakan peran satu
dengan peran yang lain. Perbedaan-perbedaan peran ini diharapkan akan
diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini berhasil, maka
perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan peran yang diidentifikasi
tersebut.
Penokohan
atau perwatakan dalam sebuah lakon memegang peranan yang sangat penting. Egri
dalam Santosa, dkk (2008:90), berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling
utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan
tidak bakal ada alur. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran,
tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita Hamzah (1985
dalam Santosa, dkk, 2008:90).
Menurut
Luxemburg, Bal, dan Weststeijn (1984:171), istilah tokoh dipergunakan apabila
membahas mengenai sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sedangkan istilah pelaku
bila kita membahas instasi atau peran yang bertindak atau berbicara dalam
hubungannya dengan alur peristiwa.
Luxemburg
membagi pelukisan watak menjadi dua, yaitu pelukisan watak secara eksplisit dan
pelukisan watak secara implisit. Pelukisan watak secara eksplisit, watak
seorang tokoh dapat dilukiskan oleh komentator seorang pelaku lain. Seorang
tokoh juga dapat melukiskan wataknya sendiri. Di sini seluruh tokoh itu
merupakan dasar apakah dia pantas dipercaya atau tidak.
Pelukisan
watak secara implisit, pelukisan ini terjadi lewat perbuatan dan ucapan, dan
sebetulnya lebih penting daripada pelukisan eksplisit.Hudson (1958 dalam
Budianta, 2002:106) menyatakan bahwa alur lebih penting daripada tokoh karena
tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu, dan tokoh lebih penting
daripada alur karena alur hanya dipergunakan untuk mengembangkan tokoh.
Hudson
cenderung mengatakan bahwa pementingan terhadap tokoh lebih utama dibandingakan
dengan pementingan terhadap alur, hal ini disebabkan sesuatu cerita akan
meninggalkan kesan yang dalam dan bahkan mungkin abadi lantaran penokohan di
dalam cerita itu begitu kuat dan meyakinkan dalam membangun alur cerita.
Dalam bukunya, Hudson
mendefinisakan bahwa tokoh adalah unsur yang paling penting dalam
sebuah pementasan drama, karena tanpa adanya tokoh pasti
tidak akan ada pementasan drama. Penokohan juga dapat digunakan untuk
membedakan peran yang satu dengan peran yang lain, karena antara tokoh yang
satu dengan yang lain akan mempunyai karakter yang berbeda-beda.
1. Peran
Wahyuningtyas
dan Santosa (2011:3) membagi tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya dibedakan
menjadi tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian.
Tokoh
tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. Tokoh dalam drama
mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor atau
pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya
dengan alur peristiwa (Wiyatmi, 2006:50).
Menurut
Santosa, dkk (2008:90), peran merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab
dengan adanya peran maka timbul konflik. Konflik dapat dikembangkan oleh
penulis lakon melalui ucapan dan tingkah laku peran. Dalam teater, peran dapat
dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh penulis lakon.
Motivasi-motivasi peran inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan peran.
Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut.
a. Protagonis
Protagonis adalah peran utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita.
Keberadaan peran adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika
mencapai suatu cita-cita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam,
bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Peran ini juga menentukan jalannya
cerita.
b. Antagonis
Antagonis adalah peran lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang
menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus
memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus berkembang mencapai
klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif
terhadap tokoh protagonis.
c. Deutragonis
Deutragonis adalah
tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Peran ini ikut mendukung
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis.
d. Tritagonis
Tritagonis adalah peran
penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan
antagonis.
e. Foil
Foil adalah
peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia
diperlukan guna menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh
antagonis.
f. Utility
Utility adalah
peran pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita
dan kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini mewakili jiwa penulis.
2. Jenis
Karakter
Kernodle
(dalam Dewojati, 2010:170) mengungkapkan bahwa karakter biasanya diciptakan
dengan sifat dan kualitas yang khusus. Karakter tidak hanya berupa pengenalan
tokoh melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo atau irama
permainan tokoh, tetapi juga sikap batin tokoh yang dimilikinya. Setiap
karakter dalam sebuah lakon selalu berhubungan erat dengan karakter yang
lain.
Character adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams
(1981) dalam wahyuningtyas (2011:5)). Menurut Santosa, dkk
(2008:91), karakter adalah jenis peran yang akan dimainkan, sedangkan penokohan
adalah proses kerja untuk memainkan peran yang ada dalam naskah lakon.
Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis peran tersebut sehingga
bisa dimainkan. Menurut Saptaria (2006 dalam Santosa, dkk, 2008:91), jenis
karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character,
round charakter, teatrikal, dan karikatural.
a. Flat
Character (Perwatakan Dasar)
Flat character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis
oleh penulis lakon secara datar dan biasanya bersifat hitam putih. Karakter
tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang berkembang sesuai dengan
perkembangan lingkungan. Jadi perkembangan karakter seharusnya mengacu pada
pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman dan
interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang.
Penulis
lakon adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga
ketika mencipta sebuah karakter dia bebas menentukan suatu perkembangan
karakter. Flat character ini ditulis dengan tidak
mengalami perkembangan emosi maupun derajat status sosial dalam sebuah
lakon. Flat character biasanya ada pada karakter
tokoh yang tidak terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi
diperlukan dalam sebuah lakon.
b. Round
Character (Perwatakan Bulat)
Round
character adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami
perubahan dan perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya.
Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam
kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik
dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat
karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.
c. Teatrikal
Teatrikal
adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis.
Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi
sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik dan non realis. Karakter ini
hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan jaman dan lain-lain
yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia.
d. Karikatural
Karikatural
adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir.
Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang antara
kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana. Sifat
karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh karakter tokoh,
bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah
laku.
3. Teknik
Penggambaran Tokoh
Adapun
teknik penggambaran tokoh dalam menentukan suatu tokoh dalam sebuah drama.
Teknik penggambaran tokoh menurut Altenbernd dan Lewis (1966 dalam
Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:4) sebagai berikut.
(1) Secara
analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan
deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung.
(2) Secara
dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap, sifat, dan
tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu teknik cakapan
(percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita untuk menggambarkan
sifat-sifat tokoh yang bersangkutan), teknik tingkah laku, teknik pikiran dan
perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain,
teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan
fisik tokoh).
A. Struktur
Dramatik
Kita banyak berhutang budi
kepada Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang telah menulis Poetics untuk
mengenali alur, karakter, pemikiran, diksi, musik, dan spektakel dari tragedi.
Menurut Santosa, dkk (2008:76), struktur dramatik merupakan bagian dari alur
karena di dalamnya merupakan satu kesatuan peristiwa yang terdiri dari
bagian-bagian yang memuat unsur-unsur alur.
Struktur dramatik ini
tidak dapat dipisahkan dengan alur karena keduanya memiliki atau
membentuk struktur dan saling berkesinambungan dari awal cerita sampai akhir.
Fungsi dari struktur dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat
mengungkapkan pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton
ke dalam laku cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemen-elemen
pembentuk struktur yang terdiri dari eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi,
dan kesimpulan.
1. Piramida
Freytag
Ide
Aristoteles tentang alur drama kemudian dikembangkan oleh Gustav Fteytag
(Dewojati, 2010:164). Freytag dalam Santosa, dkk (2008:76) menyatakan bahwa
dalam menggambarkan struktur dramatiknya mengikuti elemen-elemen tersebut
dan menempatkannya dalam adegan-adegan lakon sesuai laku dramatik yang
dikandungnya. Struktur Freytag ini dikenal dengan sebutan piramida Freytag.
a. Eksposisi
Eksposisi adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi
tentang perkenalan karakter, masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi
informasi atas masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter
yang ada dalam naskah lakon.
b. Komplikasi (Rising
Action)
Pada bagian ini mulai terjadi
kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi jalinan peristiwa. Disini
juga sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak
mudah untuk mengatasinya sehingga timbul frustasi, amukan, ketakutan, dan
kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakter-karakter yang
memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik
tersebut.
c. Klimaks
Klimaks adalah puncak dari laku
lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik ini semua permasalahan
akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat
dialog yang disampaikan oleh peran. Dengan terbongkarnya semua masalah yang
melingkupi keseluruhan lakon diharapkan penonton akan mengalami katarsis atau
proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya murni pada jiwa penonton.
d. Resolusi (Falling
Action )
Resolusi adalah penurunan emosi
lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk
menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah diajak naik dan
dipermainkan. Falling Action ini juga berfungsi untuk memberi
persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan apa yang telah ditonton. Titik
ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan, dan volume suara
pemeran lebih bersifat menenangkan.
e. Kesimpulan (Denoument)
Kesimpulan adalah penyelesaian
dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita atau sedih.
Menurut Dewojati (2010:164),
pola struktur alur Freytag seperti di atas tidak dipakai secara patuh oleh para
penulis drama modern. Pada drama modern biasanya posisi klimaks diletakkan di
dekat bagian akhir cerita (Whiting dalam Dewojati (2010:165)).
2. Skema
Hudson
Menurut Hudson dalam Tambajong
(1981:35), alur dramatik tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku.
Garis laku lakon dalam skema ini juga melalui bagian-bagian tertentu yang dapat
dijabarkan sebagai berikut.
a. Eksposisi
Pada bagian eksposisi ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan dan
membeberkan karakter-karakter yang ada, dimana terjadinya peristiwa tersebut,
peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter yang ada dan lain
sebagainya.
b. Insiden
Permulaan
Pada insiden permulaan ini
mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang
dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu. Insiden-insiden ini akan
menggerakkan alur dalam lakon.
c. Pertumbuhan
Laku
Pada bagian ini merupakan
tindak lanjut dari insiden-insiden yang teridentifikasi tersebut.
Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan
semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari konflik tersebut
terasa samar-samar dan tak menentu.
d. Krisis
atau Titik Balik
Krisis adalah keadaan dimana
lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan sehingga
emosi penonton tidak bisa apa-apa. Menurut Hudson dalam Santosa, dkk (2008:80),
klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan
bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik balik sudah menunjukan suatu
peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun.
e. Penyelesaian
atau Penurunan Laku
Penyelesaian atau denoument yaitu
bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi dan jalan keluar dari
konflik tersebut sudah menemukan jalan keluarnya.
f. Catastroph
Semua konflik yang terjadi
dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu yang membahagiakan
maupun akhir sesuatu yang menyedihkan.
2. Tensi Dramatik
Mathews dalam Santosa, dkk
(2008:80), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan cerita satu lakon
memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam masing-masing bagiannya.
Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang dibicarakan atau
dihadapi.
Dengan mengatur nilai tegangan
pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan
semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari
situasi yang monoton dan menjemukan. Titik berat penekanan tegangan pada
masing-masing bagian akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor
sehingga mereka tidak kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur
irama aksi.
a. Eksposisi
Bagian awal atau pembukaan dari
sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan-keterangan
mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus dijelaskan atau
digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti.
Nilai tegangan dramatik pada
bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi
dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita
dan kunci pembuka awalan persoalan.
b. Penanjakan
Sebuah peristiwa atau aksi
tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan
tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah pada konflik
sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini
terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.
c. Komplikasi
Komplikasi merupakan kelanjutan
dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa
untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan yang menimpanya. Pada
tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit
melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh
tokoh berada dalam situasi yang tegang.
d. Klimaks
Nilai tertinggi dalam
perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun sejak awal mengalami
puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini.
e. Resolusi
Mempertemukan masalah-masalah
yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau
pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik
terang dari segenap persoalan yang dihadapi.
f. Konklusi
Tahap akhir dari peristiwa
lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini
peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi
paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi
atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks.
3. Turning
Point
Model struktur dramatik dari
Cassady dalam Santosa, dkk (2008:82) menekankan pentingnya turning atau changing
point (titik balik perubahan) yang mengarahkan konflik menuju klimaks.
Titik balik ini menjadi bidang kajian yang sangat penting bagi sutradara
berkaitan dengan laku karakter tokohnya sehingga puncak konflik menjadi jelas,
tajam, dan memikat.
4. Alur
Dramatik Kernodle
Kernodle dalam Dewojati (2010:167) membagi perkembangan alur menjadi beberapa
bagian seperti berikut.
a. Eksposisi
Menjelaskan kepada penonton apa
yang telah terjadi sebelumnya dan bagaimana situasinya sekarang ini.
Selanjutnya, alur kemudian bergerak ke titik serangan yang memicu munculnya
kekuatan penggerak.
b. Komplikasi
Munculnya komplikasi demi
komplikasi dalam cerita yang menimbulkan ketegangan. Kemudian ketegangan
meningkat dalam build (pertumbuhan), yang lambat laun membesar
dan menimbulkan minor climax (klimaks kecil), yang lalu
diikuti oleh penurunan.
c. Antisipasi
atau Pratanda
Terdapat konflik masa depan.
Hal ini ditegaskan dengan adanya situasi “ancaman” yang mendorong
masuknya peristiwa ke dalam ketegangan besar, krisis besar, memuncaknya
ketegangan dalam klimaks besar.
d. Conclusion
5. Alur
Dramatik Lynn Altenbernd dan Leslie L. Lewis
Menurut Altenbernd dalam
Dewojati (2010:186), konflik adalah dasar sebuah alur karena alur
terbangun dengan adanya konflik-konflik yang muncul dalam drama.
D.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa penokohan merupakan unsur penting dalam sebuah pementasan
drama. Dengan adanya penokohan ini penonton bisa membedakan tokoh satu dengan
tokoh yang lainnya karena setiap tokoh mempunyai peran dan karakter yang
berbeda-beda yaitu protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, foil,
utility atau flat character, round character,
teatrikal, dan karikatural.
Struktur dramatik merupakan
bagian dari alur sehingga struktur dramatik dan alur ini tidak dapat
dipisahkan. Bila alur tidak ada maka struktur dramatik ini juga tidak akan ada
karena struktur dramatik mengacu pada alur. Struktur dramatik menjelaskan lebih
mendetail mengenai unsur-unsur alur dengan berbagai pendapat para ahlinya.
Jenis-Jenis Tokoh
Tokoh
dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan menjadi bermacam- macam berdasarkan
segi tinjauannya, antara lain: berdasarkan peranannya, berdasarkan
perwatakannya, dan berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan, serta
berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan, serta berdasarkan kemungkinan
pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata.
Berdasarkan
peranannya, tokoh dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan terpenting dalam cerita dan
menjadi pendukung ide utama dalam cerita.
Tokoh utama dalam sebuah karya sastra tidak
selalu satu orang saja, bisa lebih. Karya sastra yang terdiri dari lebih satu
tokoh utama, tokoh utamanya tidak memiliki peranan yang sama, yang satu lebih
penting dari yang lain.
Tokoh
bawahan adalah tokoh yang mendukung perwatakan tokoh utama yang kehadirannya
lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh utama. Kehadirannya hanya ada jika
berkaitan dengan tokoh utama secara langsung maupun tidak langsung
Nurgiyantoro
2000:176-177. Altenbernd dan Lewis Nurgiyantoro 2000:178-179 mengatakan bahwa
tokoh dapat ditinjau berdasarkan fungsi penampilannya, yaitu tokoh protagonis
dan tokoh antagonis.
Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara
populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,
nilai-nilai yang ideal bagi kita.
Tokoh
antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis dapat
disebut tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung
maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun batin.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh dibedakan
menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang
memiliki kualitas pribadi tertentu dan sifat atau watak tertentu. Sifat dan
tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan hanya
mencerminkan satu watak tertentu.
Tokoh
bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh ini memliki watak dan
tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan sulit diduga.
Abrams
dalam Nurgiyantoro 2000:181-183. Ditinjau dari kriteria berkembang atau
tidaknya perwatakan, tokoh terdiri atas tokoh statis dan tokoh berkembang.
Tokoh
statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau
perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa ytang
terjadi.
Tokoh
berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan atau perubahan peristiwa atau plot yang
dikisahkan
Altenbernd
dan Lewis dalam Nurgiyantoro 2000:188. Berdasarkan kemungkinan pencerminan
tokoh cerita terhadap sekelompok kehidupan manusia dari kehidupan nyata, tokoh
terdiri atas tokoh tipikal dan tokoh netral.
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh ini merupakan penggambaran terhadap orang
atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga atau seorang individu
sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata.
Tokoh
netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir
semata-mata demi cerita atau bahkan dialah yang mempunyai cerita dan pelaku
yang diceritakan
Altenbernd
dan Lewis dalam Nurgiyantoro 2000:190-191. Berdasarkan uraian di atas, dapat
diketahui bahwa pada hakikatnya jenis- jenis tokoh dalam sebuah karya sastra
ditinjau dari segi perannya dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh
bawahan.
Tokoh utama
memegang kendali terpenting dalam sebuah fakta cerita, sedangkan tokoh bawahan
hanya sedikit kehadirannya dalam cerita.
Menurut
fungsinya terdapat tokoh protagonis yaitu tokoh baik dan disenangi, sedangkan
tokoh antagonis adalah tokoh jahat atau tokoh yang menyebabkan terjadinya
konflik.
Tokoh
merupakan pelaku dalam sebuah cerita. Tokoh terbagi atas tokoh utama dan tokoh
tambahan.
- Tokoh
utama merupakan tokoh yang melakukan interaksi secara
langsung atau terlibat dalam konflik.
- Tokoh
tambahan merupakan tokoh yang
hanya diungkapkan dalam cerpen tanpa adanya interaksi yang dilakukan tokoh
atau tokoh yang tidak terlibat dalam konflik.
Tokoh
dalam cetita fiksi juga dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan
atau pembantu, yaitu:
1.Tokoh utama, dengan indikasi/ciri:
1) tokoh tersebut sering muncul;
2) tokoh yang sering diberi komentar.
2.Tokoh tambahan/pembantu, dengan indikasi/ciri:
1) tokoh yang mendukung tokoh utama;
2) tokoh yang hanya diberi komentar alakadarnya.
Tokoh
dalam unsur intrinsik cerpen dibagi menjadi tiga karakter, yaitu:
·
1.
Tokoh Protagonis: tokoh utama pada cerita.
·
2.
Tokoh Antagonis: tokoh penentang atau lawan dari tokoh utama.
·
3.
Tokoh Tritagonis: penengah dari tokoh utama dan tokoh lawan.
·
4.
Tokoh figuran, yaitu tokoh dalam cerpen yang menjadi tokoh pembantu dan memberi
warna pada cerita.
5
Jenis-Jenis Tokoh Berdasarkan Peranannya dalam Cerita Bahasa Indonesia
Selain alur dan
latar, tokoh atau penokohan juga merupakan elemen penting dalam suatu cerita.
TAnpa adanya tokoh, maka sebuah cerita mungkin tidak akan pernah dibuat. Tokoh
sendiri terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan peranannya dalam suatu
cerita. Kesemua tokoh itu akan dibahas khusus di dalam artikel kali ini. Adapun
pembahasan yang dimaksud adalah sebagaimana berikut ini!
A. Protagonis
Jenis-jenis
tokoh berdasarkan peranannya yang pertama adalah tokoh protagonis. Tokoh ini
biasanya merupakan tokoh yang paling disenangi oleh pembaca. Sebab, tokoh ini
selalu diidentikkan dengan sifat-sifat baik yang ada di dalam diri manusia,
seperti: optimistis, dermawan, penolong, bertanggung jawab, dan lain
sebagainya. Contohnya: Pandawa Lima, Si Pitung, Semar, dan lain sebagainya.
B. Antagonis
Kebalikan dari tokoh
protagonis, tokoh antagonis justru merupakan tokoh yang amat tidak disukai
pembaca. Hal ini dikarenakan tokoh ini selalu diidentikan sebagai sosok jahat
dan punya sejumlah watak negatif lainnya, seperti: curang, kejam, manipulatif,
dan lain sebagainya. Selain itu, tokoh antagonis sendiri selalu digambarkan
sebagai tokoh yang selalu mengganggu dan menghambat tujuan dari si tokoh utama.
Bersama dengan
tokoh protagonis, tokoh antagonis bisa dibilang merupakan tokoh paling penting
dan menjadi pusat perhatian dalam suatu cerita. Maka tak heran, bila para
pembaca biasanya akan selalu tertarik dengan perseturan antara dua tokoh
tersebut. Adapun beberapa contoh tokoh antagonis antara lain: Duryudhana,
Rahwana, dan lain sebagainya.
C. Tritagonis
Jenis-jenis
tokoh berdasarkan pernannya yang selanjutnya adalah tritagonis. Tokoh ini
merupakan tokoh penengah yang menengahi konflik antara si protagonis dan si
antagonis. Sebagai penengah, tokoh ini biasanya tidak memihak sama sekali
kepada salah satu dari dua tokoh tersebut.
D. Deutragonis
Tokoh ini
merupakan tokoh yang ada di belakang tokoh protagonis. Bisa ndibilang kalau
deutragonis merupakan tokoh yang berpihak sekaligus membantu protagonis guna
menyelesaikan konfliknya dengan tokoh antagonis. Meskipun berperan sebagai
pendukung protagonis, tokoh ini justru seringkali luput dari perhatian pembaca.
Hal ini disebabkan karena tokoh ini memang tidak terlalu ditonjolkan sosoknya
dalam cerita, kendatipun berperan sangat penting dalam membantu protagonis
dalam menyelesaikan permasalahannya.
E. Foil
Kebalikan dari
deutragonis, tokoh ini justru merupakan tokoh pendukung antagonis. Sama seperti
deutragonis, tokoh satu ini juga biasanya sering tidak terlalu diperhatikan
pembaca, kendatipun perannya cukup krusial bagi sang tokoh antagonis.
Dari pembahasan
di atas, bisa disimpulkan bahwa jenis-jenis tokoh berdasarkan peranannya dalam
cerita bahasa Indonesia terdiri atas lima tokoh.
Tokoh-tokoh tersebut terbagi atas dua tokoh yang biasanya digambarkan sebagai
pihak yang baik (protagonis dan deutragonis), dua tokoh yang biasanya
digambarkan sebagai pihak yang jahat atau lawannya pihak baik (antagonis dan
foil), dan satu tokoh yang digambarkan sebagai sosok netral (tritagonis)
Sementara
itu, penokohan merupakan watak atau karakter tokoh yang terdapat dalam sebuah
cerita. Contohnya, tokoh Bandung Bondowoso dalam cerita Roro
Jonggrang yang memiliki watak gigih.
Penokohan
Istilah
penokohan lebih luas dari pada tokoh dan perwatakan. Penokohan dalam unsur
intrinsik cerpen mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Penokohan
dalam unsur intrinsik cerpen merupakan penentuan watak atau karakter dari tokoh
tersebut. Penokohan ini bisa digambarkan dalam sebuah ucapan, pemikiran dan
pandangan saat menyelesaikan suatu masalah. Begitu juga melalui penjelasan
narasi atau penggambaran fisik tokoh tersebut.
Abrams, Baldic (2001:37) dalam Nurgiyantoro (2013), menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.
Tokoh cerita (character), sebagaimana dikemukakan Abrams (1999:32-33) dalam Nurgiyantoro (2013), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama komik itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah tokoh komik itu?”, dan sebagai-nya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Beberapa
cara yang dapat digunakan pengarang untuk menggambarkan rupa, watak
tokoh/pelaku:
1.Melukiskan bentuk lahir pelaku;
2.Melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas dalam pikirannya;
3.Melukiskan bagaimana reaksi pelaku terhadap kejadian-kejadian yang
dialaminya;
4.Pengarang secara langsung menganalisis watak pelaku;
5.Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku;
6.Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelaku lain dalam cerita
terhadap pelaku utama;
7.Para pelaku lain dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelaku utama,
sehingga secara tidak langsung pembaca dapat menangkap kesan segala sesuatu
tentang pelaku utama.
Penokohan terdiri atas tiga variasi, yaitu:
1.Teknik ekspositori atau teknik analitis adalah teknik yang pelukisan tokoh
cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara
langsung. Hal semacam ini biasanya terdapat pada tahap perkenalan.
2.Teknik dramatik adalah teknik pelikisan tokoh cerita yang pengarangnya tidak
mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.
Sifatnya lebih sesuai dengan sisi kehidupan nyata. Jika teknik ekspositoris
pengarang memberikan deskripsi, dalam teknik dramatik para tokoh ditampilkan
mirip dengan drama. Dengan teknik ini cerita akan lebih efektif.
1)Teknik Cakapan
Teknik cakapan adalah teknik percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita
yang juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang
bersangkutan.
2)Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku adalah teknik yang menyarankan pada tindakan yang
bersifat nonverbal, fisik.
3)Teknik Pikiran dan Perasaan
Teknik pikiran dan perasaan adalah teknik yang melintas dalam pikiran dan
perasaan, serta apa yang dipikir dan dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal yang
akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua.
4)Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran (steam of consciousness) adalah teknik yang merupakan
sebuah karya narasi yang berusaha menangkap pandangan dan proses mental
tokoh, tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran,
persaan, ingatan, harapan dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams, dalam Nurgiantoro
2002: 206).
5)Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh adalah suatu reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah,
keadaan, kata dan sikap serta tingkah-laku orang lain dan sebagainya yang
merupakan “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan yang diberikan
oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya,
yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar dan lain-lain.
6)Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya.
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagi teknik yang lain.
7)Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaanya, atau paling
tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
3. Teknik identifikasi tokoh. Untuk mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh
cerita, kita perlu mengidentifikasi kedirian tokoh-tokoh secara cermat dengan usaha-usaha
melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Prinsip Pengulangan
Prinsip pengulangan adalah prinsip yang dapat menemukan dan mengidentifikasi
adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku pada bagian-bagian
berikutnya.
2) Prinsip Pengumpulan
Prinsip pengumpulan adalah suatu prinsip yang dapat mengungkapkan sedikit demi
sedikit dalam seluruh cerita yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data
kedirian yang “tercecer” diseluruh cerita tersebut.
3) Prinsip Kemiripan dan Pertentangan
Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan
dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari
cerita fiksi yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA Mansyur, Umar. 2016. Pemanfaatan Nilai Kejujuran dalam Cerpen
sebagai Bahan Ajar Cerpen Berbasis Pendidikan Karakter. In Mengais Karakter
dalam Sastra: HIKSI Makassar (pp. 330-339).
http://doi.org/10.17605/OSF.IO/Z4T3Y Mansyur, Umar. 2018. Kiat dan Teknik
Penulisan Skripsi bagi Mahasiswa. INA-Rxiv. https://doi.org/10.31227/0sf.oi/juds7
Muliadi, 2017. Buku Ajar Telaah Prosa: Sebuah Terapan. Makassar: De La Macca.
Nektariti. 2013. https://www.rumpunnektar.com/2013/1/perbedaan_tokoh_dengan_
penokohan.html?m=1 diakses pada tanggal 20 Oktober 2018. Nurgiyantoro, Burhan.
2015 . Teori Pengajaran Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prameswari, Arsya. 2017.https://www.academia.edu/35640183/MAKALAH_KAJIAN_
PROSA_FIKSI_PENOKOHAN_DAN_KARAKTERISASI_KELOMPOK_4 diakses pada tanggal 20
Oktober 2018. Warnati. 2014. https://warnati094.blogspot.com/2014/06/tokoh-dan-penokohan-telaahprosa.html?m=.
diakses pada tanggal 20 Oktober 2018. Warsiman. 2013. Membangun Pemahaman
Terhadap Karya Sastra Berbentuk Fiksi (Telaah Sifat dan Ragam Fiksi Naratif).
Jurnal Thaqafiyyat, Vol. 14(1), 180-183.
Dewojati,
Cahyaningrum. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Soemanto,
Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sumarwahyudi. 2011. Filsafat Ilmu Seni.
Malang: Pustaka Kaiswaran.
Supriyono. 2011. Tata Rias Panggung. Malang:
Bayumedia Publishing.
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar
Dramaturgi. Bandung: Harapan Bandung.
Wahyuningtyas,
Sri, dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra: Teori dan
Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.Wariatunnisa,
Alien dan Yulia Hendrilianti. 2010. Seni Teater untuk SMP atau MTs
Kelas VII, VIII, dan IX (Rahmawati, Irma dan Ria Novitasari, Ed).
Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Wiyanto,
Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo Anggota
Ikapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar