*”Membedah
Fonolgis Ortografis dan ortografis Fonologis dalam Bahasa Indonesia”*
Fonologi adalah ilmu tentang
perbendaharaan bunyi-bunyi (fonem) bahasa dan distribusinya. Fonologi
diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa
yang diproduksi oleh alat ucap manusia.. Bidang kajian fonologi adalah bunyi
bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang membentuk
suku kata.
Asal kata fonologi,
secara harfiah sederhana, terdiri dari
gabungan kata fon (yang berarti bunyi) dan logi (yang
berarti ilmu). Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah fonologi merupakan
turunan kata dari bahasa Belanda, yaitu fonologie.
Fonologi terdiri dari 2
(dua) bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari
bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan.
Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang
berhubungan dengan penggunaan dan pengucapan bahasa. Dengan kata lain, fonetik adalah
bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana
suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Sementara itu, Fonemik adalah bagian fonologi yang
mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang dalam
linguistik yang menyelidiki bunyi–bunyi bahasa menurut fungsinya. Menurut
Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam
linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan
demikian, fonologi adalah sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga
dikatakan bahwa fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Menurut Abdul Chaer
(2003:102), secara etimologi istilah “fonologi” ini dibentuk dari kata “fon”
yang bermakna “bunyi” dan “logi” yang berarti “ilmu”. Jadi, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu yang mempelajari
bunyi-bunyi bahasa pada umumnya.
Verhaar (1984:36)
mengatakan bahwa fonologi merupakan bidang khusus dalam linguistik yang
mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk
membedakan makna leksikal dalam suatu bahasa. Fonologi ialah bagian dari tata
bahasa yang memperlajari bunyi-bunyi bahasa (Keraf, 1984: 30).
Definisi Fonologi
menurut Fromkin & Rodman (1998:96), fonologi adalah bidang linguistik yang
mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Definisi
Fonologi menurut Trubetzkoy (1962:11-12), fonologi merupakan studi bahasa yang
berkenaan dengan sistem bahasa, organisasi bahasa, serta merupakan studi fungsi
linguistis bahasa.
Adanya banyak kesamaan
antara tanda grafis dan simbol fonetis dalam sistem ortografi bahasa Indonesia
dalam huruf Latin, di satu pihak merupakan suatu keuntungan, namun di pihak
lain merupakan suatu kekurangan/kelemahan. Keuntungannya ialah dengan adanya
banyak kesamaan itu orang dengan mudah melafalkan kata-kata bahasa Indonesia
tanpa latar belakang pengetahuan fonologis sekalipun. Adapun kekurangannya
ialah seseorang dengan mudah terseret ke wilayah yang tidak jelas, kapan ia
berada di wilayah fonologi dan kapan ia berada di wilayah ortografi.
Kerancuan dalam
melisankan bahasa tulis disebut kerancuan fono-ortografis dapat terjadi karena
ketidaksempumaan dan ketidaktaatasasan sistem ortografisnya atau karena faktor
lain yang diciptakan oleh penggunanya dengan tujuan tertentu yang ada kaitannya
dengan status sosialnya di masyarakat. Namun demikian, dengan alasan apapun hal
tersebut sebenarnya tidak boleh terjadi apabila diinginkan tegaknya kaidah
fonologi bahasa Indonesia yang mantap dan konsisten.
Ada 3 (tiga) unsur
penting ketika organ ucap manusia memproduksi bunyi atau fonem,
yaitu: 1. udara - sebagai
penghantar bunyi, 2. artikulator -
bagian alat ucap yang bergerak, dantitik artikulasi (disebut juga
artikulator pasif), 3. bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Ada beberapa istilah
lain yang berkaitan dengan fonologi, antara ain: fona, fonem, vokal,
dan konsonan. Fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral atau masih
belum terbukti membedakan arti, sedangkan fonem adalah satuan bunyi ujaran
terkecil yang membedakan arti.
Vokal adalah
fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan. Dalam
bahasa, khususnya bahasa Indonesia, terdapat huruf vokal. Huruf vokal merupakan
huruf-huruf yang dapat berdiri tunggal dan menghasilkan bunyi sendiri. Huruf
vokal terdiri atas: a, i, u, e, dan o. Huruf vokal
sering pula disebut huruf hidup.
Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan
menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
rintangan adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan
posisi artikulator. Terdapat pula istilah huruf konsonan, yaitu huruf-huruf
yang tidak dapat berdiri tunggal dan membutuhkan keberadaan huruf vokal untuk
menghasilkan bunyi. Huruf konsonan tersebut terdiri
atas: b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p,
q, r, s, t, v, w, x, y,
dan z. Huruf konsonan sering pula disebut sebagai huruf mati.
*Sejarah
Fonologi*
Sejarah fonologi dapat
dilacak melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu ke waktu. Pada
sidang Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche Desgenettes
mengusulkan nama fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De
Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les
Langues Indo-Europeennes” ‘memoir tentang sistem awal vokal bahasa – bahasa Indo
eropa ‘ yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai prototip unik
dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam bahasa –bahasa anggotanya.
Berdasarkan uraian
sebelumnya dapat dikatakan bahwa fonologi sesungguhnya merupakan satu sub
disiplin linguistik yang membicarakan tentang bunyi-bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia dan teori-teori perubahan bunyi itu. Fonologi
juga membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa dan cara menganalisnya. Dengan
demikian, kegiatan mempelajari bunyi bahasa idealnya tidak hanya sebatas upaya
pengenalan bunyi-bunyi itu, tetapi juga harus diiringi dengan latihan
menganalisis bunyi-bunyi bahasa tersebut dari segala segi.
Sejalan dengan
pandangan sebelumnya, Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa fonologi
merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu
bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna leksikal
dalam suatu bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, leksikal artinya
bersangkutan dengan kata (Depdikbud, 1988:510). Jadi bunyi bahasa yang dimaksud
oleh Verhaar di sini adalah bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna
kata.
Perbedaan tersebut
menurut Verhaar selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen, yakni unsur
bahasa yang merupakan bagian dari unsur yang lebih besar. Oleh karena itu
fonologi dipandangnya sebagai satu cabang ilmu yang menyelidiki tentang
“perbedaan minimal / minimal differences / pasangan
minimal” antara ujaran-ujaran. Selanjutnya Verhaar ( 1984:36)
menjelaskan pula bahwa, “Pasangan minimal adalah seperangkat kata yang sama,
kecuali dalam satu bunyi”.
Pakar lainnya menyebut
pasangan minimal ini dengan istilah “kata berkontras”, yaitu dua kata mirip
yang memiliki satu bunyi yang berbeda dan menghasilkan makna yang berbeda pula.
Bunyi yang berfungsi membedakan makna ini disebut “fonem” dan bunyi yang tidak
berfungsi sebagai pembeda makna dinamai “fon”.
Perlu diketahui bahwa
setiap bahasa memiliki khasanah fonem.Yang dimaksud dengan khazanah fonem
adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam suatu bahasa. Fonem yang dimiliki
satu bahasa dengan bahasa yang lain tidak sama jumlahnya. Dalam hubungan ini
Samsuri (1994:93) menegaskan bahwa “ … tidak ada dua bahasa yang memakai
bunyi-bunyi yang sama benar”.
Menurut Samsuri
(1994:91), “Sebagai ilmu, fonetik berusaha menemukan kebenaran-kebenaran umum
dan memformulasikan hukum-hukum tentang bunyi-bunyi itu dan pengucapannya;
sebagai kemahiran fonetik memakai data deskriptif daripada fonetik ilmiah guna
memberi kemungkinan pengenalan dan produksi (pengucapan) bunyi-bunyi ujar itu”
*Bagaimana
dengan Fonetik ?*
Fonetik yaitu ilmu
bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur dan
bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap. Menurut Samsuri (1994), fonetik
adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997), fonetik diartikan bidang linguistik tentang pengucapan
(penghasilan) bunyi ujar atau fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa.
Chaer (2007) membagi
urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu menjadi tiga jenis fonetik yaitu:
1. *Fonetik Artikulatoris*
Fonetik artikulatoris
disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana
mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa
serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
Pembahasannya antara
lain meliputi masalah alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi dalam
bahasa itu, mekanisme arus udara yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa,
bagaimana bunyi bahasa itu dibuat, mengenai klasifikasi bahasa yang dihasilkan
serta apa kriteria yang digunakan, mengenai silabel, dan juga mengenai
unsur-unsur atau ciri-ciri supresegmental, seperti tekanan, jeda, durasi dan
nada.
2. *Fonetik Akustik*
Fonetik akustik mempelajari
bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Objeknya adalah bunyi
bahasa ketika merambat di udara, antara lain membicarakan: gelombang bunyi
beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum, tekanan,
dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi
bunyi, serta pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah
kepada kajian fisika daripada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki
kepentingan didalamnya.
3. *Fonetik auditoris*
Fonetik auditoris
mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diterima oleh telinga, sehingga
bunyi-bunyi itu didengar dan dapat dipahami. Dalam hal ini tentunya pambahasan
mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja.
Bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh
karena itu, kajian fonetik auditoris lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran,
termasuk kajian neurologi.
Dari ketiga jenis
fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik
artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik
akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika yang dilakukan setelah bunyi-bunyi
itu dihasilkan dan sedang merambat di udara.
Kajian mengenai
frekuensi dan kecepatan gelombang bunyi adalah kajian bidang fisika bukan
bidang linguistik. Fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran
daripada linguistik. Kajian mengenai struktur dan fungsi telinga jelas
merupakan bidang kedokteran.
*Bagaimana
dengan Fonemik ?*
Fonemik adalah ilmu
bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna.
Terkait dengan pengertian tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997) diartikan: (1) Bidang linguistik tentang sistem fonem. (2) Sistem fonem
suatu bahasa. (3) Prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa.
Jika dalam fonetik
mempelajari berbagai macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap
serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik
mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah
yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
Chaer (2007) mengatakan
bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna
kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u] dan [r], [a], [b] dan [u]. Jika
dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan
bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah
fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
1. *Fonologi dalam Cabang Morfologi *
Bidang morfologi yang
kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil
studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan
secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah
mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-kan}.
2. *Fonologi dalam Cabang Sintaksis*
Bidang sintaksis yang berkosentrasi
pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat
berita), kamu berdiri?(kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah)
ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi
mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan
memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan
tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama
dalam bahasa Indonesia.
3. *Fonologi dalam Cabang Semantik*
Bidang semantik yang
berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil
telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan dan
tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan
kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?],
[didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang
membantunya.
*Fonem-Fonem
Bahasa Indonesia*
Supriyadi (1992)
berpendapat bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan kebahasaan yang terkecil.
Santoso (2004) menyatakan bahwa fonem adalah setiap bunyi ujaran dalam satu
bahasa mempunyai fungsi membedakan arti. Bunyi ujaran yang membedakan arti ini
disebut fonem. Fonem tidak dapat berdiri sendiri karena belum mengandung arti.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997) tertulis bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan bunyi
terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Misalnya /b/ dan /p/ adalah dua
fonem yang berbeda karenabara dan para beda maknanya. Contoh
lain: mari, lari, dari, tari, sari jika satu unsur diganti dengan
unsur lain, maka akan membawa akibat yang besar yakni perubahan makna.
*Perbedaan
Fonem dan Huruf*
Dalam bidang
linguistik, huruf sering diistilahkan dengan grafem. Fonem adalah satuan bunyi
bahasa yang terkecil yang dapat membedakan arti. Sedangkan huruf (grafem)
adalah gambaran dari bunyi (fonem), dengan kata lain, huruf adalah lambang
fonem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) bahwa huruf adalah tanda
aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi
bahasa.
*Sistem
Fonologi dan Alat Ucap*
Dalam bahasa Indonesia,
secara resmi ada 32 buah fonem, yang terdiri atas: (a) fonem vokal 6 buah (a,
i. u, e, ∂, dan o), (b) fonem diftong 3 buah, dan (c) fonem konsonan 23 buah
(p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l,w, dan z).
Bentuk-bentuk fonem
suatu bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dibahas dalam bidang
fonetik. Terkait dengan hal itu, Samsuri (1994) menyatakan secara fonetis
bahasa dapat dipelajari secara teoritis dengan tiga cara, yaitu:
*Bagaimana
Bunyi-bunyi itu Dihasilkan oleh Alat Ucap Manusia*
Bagaimana arus bunyi
yang telah keluar dari rongga mulut dan /atau rongga hidung si pembicara
merupakan gelombang-gelombang bunyi udara. Bagaimana bunyi itu diinderakan
melalui alat pendengaran dan syaraf si pendengar.
Cara pertama disebut
fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut akustis dan yang ketiga
auditoris. Dalam bahasan struktur fonologis cara pertamalah yang paling mudah, praktis,
dapat diberikan bukti-bukti datanya. Hampir semua gerakan alat-alat ucap itu
dapat kita periksa, paru-paru, sekat rongga dada, tenggorokan, lidah dan bibir.
Alat ucap dibagi menjadi dua macam:
1.
Artikulator;
adalah alat-alat yang dapat digerakkan/ digeser ketika bunyi diucapkan
2.
Titik
Artikulasi; adalah titik atau daerah pada bagian alat ucap yang dapat disentuh
atau didekati
Tempat artikulasi,
yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan, atau tempat bertemunya artikulator
aktif dan artikulator pasif. Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi.
Sebagai contoh bunyi [p] terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir
bawah), sehingga tempat artikulasinya disebut bilabial.
*Kajian
Ortografis*
Ortografi adalah
subbidang linguistik terapan yang mengkaji tats perwujudan bahasa dalam bentuk
grafts/tulisan. Ortografi biasa juga disebut dengan istilah grafonomi.
Grafonomi berbeda dengan grafologi. Perbedaan ini analog dengan perbedaan
antara istilah astronomi dan astrologi. Dengan demikian dapat disebutkan secara
singkat bahwa keduanya mengkaji tulisan, namun yang satu (grafonomi)
menggunakan metode analisis secara rasional, sedangkan yang lain (grafologi)
menggunakan metode analisis yang sifatnya supra natural.
Ortografi mengenal
empat macam sistem, yakni: sitem ortografi fonetis, sistem ortografi fonemis,
sistem ortografi silabis, dan sistem ortografi logografis. Dalam sistem ejaan
fonetis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan suatu fona. Sistem semacam
ini antara lain ditemukan pada penulisan bahasa Melayu Malaysia dalam huruf
Latin. Dalam sistem ejaan fonemis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan
suatu fonem. Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penults penulisan
bahasa Indonesia dalam huruf Latin.
Dalam sistem ejaan
silabis setiap huruf dirancang sebagai perwujudan dart suku kata (silabel).
Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penulisan bahasa Sansekerta dalam
huruf Dewanagari. Dalam sistem ejaan logografis setiap huruf dirancang sebagai
perwujudan sebuah kata. Sistem semacam ini antara lain ditemukan pada penulisan
bahasa Mandarin dalam huruf China. Penggunaan lambang
Dalam sistem ejaan
fonetis maupun ejaan fonemis upaya untuk mewujudkan prinsip satu huruf untuk
satu fona atau satu fonem ternyata banyak mengalami kesulitan sehingga
mengakibatkan terjadinya aneka penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut
antara lain berupa fenomena sebagai berikut:
Satu bunyi dilambangkan dengan dua huruf (x = ab),
misalnya: angin [min], sunyi [surii].
Beberapa macam bunyi dilambangkan dengan satu macam
huruf : (x/y/z = a), misalnya: oleh [oleh], telah [təlah], nenek [nεnε’].
Satu macam bunyi dilambangkan dengan beberapa macam
huruf (x
= alb/c), misalnya: a [ə ] , the [đə] dalam bahasa
Inggris (Soeparno, 2002: 116).
*Kajian
Sosio-Fonologis*
Istilah sosio-fonologis
analog dengan istilah sosio-linguistik. Apabila sosiolinguistik mengkaji bahasa
dan kaca mata sosiologi, maka kajian sosio-fonologi di sini diartikan sebagai
suatu kajian terhadap fenomena fonologi dari sudut pandang sosiologi.
Variasi fonologis dalam banyak bahasa ditemukan
dalam bentuk alih nada pada tuturan para peminta-minta di perempatan-perempatan
jalan. Alih nada dari nada biasa ke nada rendah disertai vibrasi khusus dapat
menimbulkan kesan “memelas” sehingga memancing para pejalan kaki atau
pengendara motor/mobil untuk mengulurkan sedekah. Varian fonetis semacam ini
dinamakan Ken (Cant).
*Zeroisasi*
Zeroisasi adalah
penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi
pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia,
termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak menggangu proses dan tujuan
komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan karena secara diam-diam telah
didukung dan disepakti oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian
kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana,
tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak
baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan
kehematan, gejala itu terus berlangsung. Zeroisasi dengan model penyingkatan
ini biasa disebut kontraksi. Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling
tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.
*Anaptiksis*
Anaptiksis atau suara
bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di
antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan
adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah
ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012 : 126).
Anaptiksis adalah
proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsoan dalam sebuah kata; atau
penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. (Chaer 2009 : 105). Anaptiksis
(suara bakti) adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud penambahan satu
bunyi antara dua fonem dalam sebuah kata guna melancarkan ucapan. Jadi,
anaptikis adalah perubahan bentuk kata dengan menambahkan bunyi vokal tertentu
di antara dua konsonan.
*Referensi*
cChaer, Abdul (2009). Fonologi Bahasa
Indonesia. Bandung.
Chaer, Abdul (2009). Linguistik Umum. Bandung:
Rineka Cipta. 979-518-587-X.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka
Cipta Widodo. 2004. Fonologi Bahasa Jawa. Semarang
Alwi, Hasan (Peny.) 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kridalaksana, Harimurti, 1982. Kamus
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Lass, Roger. 1988. Fonologi (Terj.) Warsono.
Cambridg
Amanto, B. S., Umanailo, M. C. B., Wulandari, R. S.,
Taufik, T., & Susiati, S. (2019). Local Consumption Diversification. Int.
J. Sci. Technol. Res, 8(8), 1865-1869.
Amri, M., Tahir, S. Z. A. B., & Ahmad, S.
(2017). The Implementation of Islamic Teaching in Multiculturalism Society: A
Case Study at Pesantren Schools in Indonesia. Asian Social Science, 13(6), 125.
Andini, K. NILAI BUDAYA SUKU BAJO SAMPELA DALAM FILM
THE MIRROR NEVER LIES KARYA KAMILA ANDINI.
ARYANA, A. PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL
ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA:
TINJAUAN STILISTIKA.
Azwan, A. (2018). Politeness strategies of refusals
to requests by Ambonese community. LINGUA: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan
Pengajarannya, 15(1), 1-6.
Bin-Tahir, S. Z., Atmowardoyo, H., Dollah, S.,
Rinantanti, Y., & Suriaman, A. (2018). MULTILINGUAL AND MONO-MULTILINGUAL
STUDENTS’PERFORMANCE IN ENGLISH SPEAKING. Journal of Advanced English
Studies, 1(2), 32-38.
Bin Tahir, S. Z. (2017). Multilingual teaching and
learning at Pesantren Schools in Indonesia. Asian EFL Journal, 89, 74-94.
Bin Tahir, S. Z. (2015). The attitude of Santri and
Ustadz toward multilingual education at Pesantren. International Journal of
Language and Linguistics, 3(4), 210-216.
Bin-Tahir, S. Z., & Rinantanti, Y. (2016).
Multilingual lecturers’ competence in english teaching at the university of
Iqra Buru, Indonesia. Asian EFL Journal, 5, 79-92.
Bin-Tahir, S. Z., Saidah, U., Mufidah, N., &
Bugis, R. (2018). The impact of translanguaging approach on teaching Arabic
reading in a multilingual classroom. Ijaz Arabi Journal of Arabic Learning,
1(1).
Bin-Tahir, S. Z., Bugis, R., & Tasiana, R.
(2017). Intercultural Communication of a Multicultural Family in Buru Regency.
Lingual: Journal of Language and Culture, 9(2), 8.
Djamudi, N. L., Nurlaela, M., Nazar, A., Nuryadin,
C., Musywirah, I., & Sari, H. (2019, October). Alternative social
environment policy through educational values in Kafi’a’s customary speech to
the kaledupa community of Wakatobi Island, Indonesia. In IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science (Vol. 343, No. 1, p. 012118). IOP Publishing.
Djunaidi, F. G., Azwan, A. Y. T., Iye, R., & bin
Tahir, S. Z. Decks Range Gola Village Community Begun District Buton District
North.
Indonesia, K. K. D. B. Morfologi Bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar