Selasa, 26 Agustus 2014

Cerpen " Jangan Menangis Ayah "



JANGAN MENANGIS AYAH
                                                               ( Pak Pur )


Praaaaaaaak……………………….
Suara gelas pecah tiba-tiba terdegar di dapur…………. Lengkingan suara Mama sudah mulai bernyanyi . Lagi-lagi ayahku hanya tertunduk diam. Ayah tetap memasak membuatkan sarapan untukku dan adiku. Aku hanya bisa melihat dari kamar sambil memakai baju seragam. “Apa lagi yang diributkan ! “ kataku dalam hati. Mengapa pertengkaran harus dengan membanting gelas ? Kata-kata Mama sudah cukup pedas, menyakitkan. Kupandangi wajah Ayahku. Raut mukanya nampak ada kemarahan yang terpendam. Bibirnya komat-kamit membaca doa. Aku diam dalam tanya. Aku masih ingat betul dan masih hangat kurasakan pelukan Ayah, seakan –akan Ayah menjawab pertanyaan dalam hatiku. Dekapan erat dan belaian tangannya membuatku semakin mengerti tentang Ayah. Satu katapun tak terucap. Hanya linangan air mata sempat jatuh menimpa pipiku. Aku kaget, tak percaya, tapi Ayahku tetap berusaha tegar dihadapan anak-anaknya.

Aku semakin tak mengerti. Ayahku tak pernah berbicara degan anak-anaknya tentang masalah yang sedang dihadapi karena memang aku masih duduk di SMP, sedang adikku masih di SD. Mungkin aku dan adik tak boleh tahu gejolak hati yang sedang melanda Ayah. Aku tetap dapat merasakan, Ayah sudah selalu mengalah, pulang kerja masih harus bekerja lagi sampai aku tidak tahu sebenarnya pekerjaan Ayah itu Guru atau apalah ? Sering pertanyaan itu muncul dalam benak hatiku. Kalau Ayah seorang guru mestinya jam dua sudah pulang, tetapi pulang sebentar masih harus bekerja lagi, katanya cari uang untuk jajan Adik. Larut malam Ayah masih juga bekerja di depan Leptop menulis-nulis.
“Biarlah aku tak ingin mengerti apa yang sedang terjadi.”  Kataku dalam hati. Namun kulihat makin lama ayah semakin berkurang kesehatanya. Malam Sabtu terdengar suara Ayah membuka pintu kamar degan tergesa-gesa. Ayahku lari ke belakag mencari sesuatu, Aku belum dapat tidur saat itu. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Rintihan ayah terdengar sayup-sayup. Aku berusaha bangun menengok Ayah yang sedang mencari sesuatu. Aku tak berani bertanya. Hanya kupandangi wajah Ayah menahan rasa sakit yag luar biasa sambil memegangi pinggangnya. Ternyata ayah menemukan sesuatu yang dicarinya. Kunci ya … kunci sepeda motor. Diraihnya kunci itu kemudian mengambil motor, dengan tergesa menyuruhku “ Dik, tolong bukakan pintu garasi, ya!” Aku yang sedang berdiri memandagi Ayah menahan rasa sakit kemudian berlari membukakan pintu. Ayahku tergesa menghidupkan motornya dan melaju dengan tergesa-gesa, “ Ayah ke rumah Sakit, Ya, Dik!”
Aku diam seribu bahasa tak dapat berucap apa-apa. Hatiku berdoa,” Semoga ayah cepat sembuh.” Suara motor itu menghilag tak terdengar lagi. Saat aku menutup pintu tiba-tiba Mamaku bangun. “ Ayahmu mau kemana malam-malam begini?” tanya Mama dengan ketusnya. Hatiku menangis. mengapa Mama setega itu. Sudah tiap hari Ayah kena marah, dalam keadaan sakit seperti itu masih juga tidak mau mengerti. Aku berusaha menjawab walaupun dalam hatiku mau berontak, “ Ke Rumah Sakit.” Tak ada reaksi apa-apa yang diperlihatkan Mama, Ia langsung masuk kamar lagi sambil berucap,“ Kebiasaan Ayahmu sakit perut.”

Aku pergi ke kamar mandi ambil air wudlu, aku kerjakan sholat sambil mendoakan Ayahku semoga cepat sembuh. Kubayangkan perjalanan Ayahku ke rumah sakit dengan menahan rasa sakit. Aku menangis, “ Mengapa aku tidak ikut mengantar Ayah, bodoh benar diriku !” sambil terus menangis meratapi penyesalanku. Segara kuraih Hp yang ada di kamar, aku berpikir Ayah pasti juga bawa Hp. Aku berusaha menghubungi Ayah. Benar dugaanku. Ayah membawa Hp. Segara aku bertanya tentang kesehatan Ayah. Dengan nada lembut Ayah bilang, “ Aku tidak apa-apa. Sudah disuntik dan diberi obat, Ayah segara pulang, Dik!” Lega rasanya hatiku mendengar suara ayahku. Tapi aku tidak tahu sakit apa sebenarnya yang sedang dirasakan Ayahku. Aku menunggu tidak bisa tidur. Lama sekali menunggu, akhirnya suara motor itu terdegar, aku bergegas membukakan pintu. Kupandangi wajah ayahku, air mataku tak tertahan menetes, kupeluk tubuh ayahku. Ayah hanya membelai rambutku kemudian berucap, “ Adik, Kok, Belum tidur, sayang!” Tangisku semakin menjadi, suara lembut Ayah membuatku semakin merasakan betapa Ayah sangat sayang padaku.
Motor sudah dimasukkan. Tangan Ayah masih ku pegang erat. Ku gandeng masuk rumah. Ku lihat jam dinding menunjukkan jam 01.30. Memang sudah larut malam. Lampu ruang Tamu dinyalakan. Ayahku sambil meghela napas duduk di kursi. Pandangannya menerawang ke angkasa. “ Pasti ada yang dipikirkan.” Tanyaku dalam hati. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayah. Tapi aku juga tidak mau bertanya, apa sebenarnya yang sedang dipikirkan. Aku masuk ke kamar sambil mencium tangan Ayah yang masih duduk di kursi.
Kutulis seuntai puisi untuk ayah. Kuletakkan di atas meja kamar ayah. Aku berharap esok pagi ketika ayah bangun mau membaca puisiku.
Tidurlah Ayah

Kamar itu masih terbuka pintunya
Kulihat ayah tergolek dengan pulas
Dengusan nafasnya lembut

Kupandangi ayah dari pintu kamar
“Tidurlah ayah………………….”
“ Akan aku jaga di sampingmu, agar ayah dapat melupakan sejenak
Kepenatan dan kesedihan “
“ Tidurlah ayah…………………”

“ Walaupun aku tahu dalam tidurmu masih ayah simpan sebuah rahasia”
“ walaupuna  aku tahu dalam tidurmu, ayah masih merasakan kesedihan yang mendalam”

Kulihat raut mukanya tenang.
Setenang ketika menghadapi masalahmu
Setenang ayah saat berbicara meyakinkan aku

Tidurlah Ayah…………………………………….







Keseokan harinya ayah bangun seperti biasa, aku berharap Ayah sudah membaca puisi yang kuletakkan di atas meja. Sudah menjadi kebiasaan Ayah untuk lebih awal pergi ke Musholla.  Habis mengumandangkan Azan subuh yang sudah rutin Ayah lakukan di Musholla, Ayah sholat subuh berjamaah dengan tetangga, aku juga mengikuti ayah. Seperti biasanya, setelah sholat subuh, ayah memasak untuk aku dan adikku. Hanya sebentar-sebentar masih kulihat rasa sakit yang ditahan ayahku. Itu berlangsung berhari-hari. Perkembangan kesehatan ayahku selalu kuperhatikan, bukan semakin membaik, tetapi terlihat semakin memburuk hingga suatu hari aku mendapat kabar kalau Ayah masuk rumah sakit terkena serangan Stroke. Separo badanya tidak bisa digerakkan. Tergesa aku segera menengok Ayah. Tak peduli degan mengayuh sepeda hadiah pemberian Ayah, aku bergegas menuju Rumah Sakit “Panembahan Senopati”. Kudapati Ayah ku Tidur tergolek lemas tidak bisa bergerak. “ Ayah…..!” kataku sambil memeluk tubuh Ayah. Ayahku hanya bisa menjawab lirih dengan suara yang tidak jelas karena bibirnya terlihat agak miring sedikit. Aku menangis dipelukan Ayah. Seandainya aku boleh menjerit, aku akan menjerit sekeras mugkin. Kutahan rasa ibaku pada Ayah. Kupegangi tangan ayah yang tak dapat digerakkan. Kupijit sambil hatiku bertanya-tanya.
Setelah sembuh, Ayah pulang ke rumah. Hari-hari tidak semakin menyenangkan. Ada saja perkara yang bisa menyulut emosi Mama. Aku tak habis mengerti. Hanya semakin kulihat semangat Ayah semakin berkurang. Ayahku berusaha tegar. Empat bulan sudah aku merasakan Rumah seperti tidak ada keharmonisan. Semua serba salah, kata-kata Mama semakin tak dapat dikendalikan. Ayahku tetap kulihat bersabar. Hingga suatu saat aku mendengar pertengkaran mereka. Kalimat yang aku belum tahu maknanya, namun masih ku ingat betul. “ Aku memang sudah tidak bisa apa-apa, sekarang terserah semuanya. Akan kuurus anak-anak semampu saya!” kata ayah dengan memelas terdengar lirih tapi sangat jelas. Aku tak tahu maknanya, sampai sekarang tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Ayahku. Suatu saat ketika ayahku  pulang kerja kupeluk erat tubuhnya. “Adik sayang Ayah. Jangan menagis Ayah. Aku tahu ayah sedang ada masalah, tapi Adik tidak pernah Ayah beritahu.” Kata-kataku ternyata meluluhkan hati Ayah. Air matanya kembali menetes. Suasana menjadi hening. Dekapan erat dan ciuman Ayah di keningku, membuatku semakin mengerti kasih sayang ayah padaku. “ Adik sekolah yang pinter, ya!” ucapan lirih sambil memandangi wajahku. “ Ya, Ayah. Aku akan membahagiakan Ayah kalau aku sudah besar dan bekerja nanti!” ucapku sambil menghapus air mata ayah yang masih ada di pipinya. Pelukan erat dan hangatnya belaian Ayah membuatku semakin mengerti. Aku akan tahu apa yang di derita Ayah jika aku sudah besar. Kata-kata ayah itu sampai sekarang masih kusimpan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar