Senin, 01 November 2021

Contoh Cerpen " Sentuhan Tangan Ayah " Oleh R. Purwantaka

 

”Sentuhan Tangan Ayah”

Oleh : R. Purwantaka

 

Tepuk tangan itu masih bergemuruh saat Ibu Bupati memotong rangkaian pita dan ”Tumpeng” di Dusun Makmur. ” Secara resmi saya nyatakan Dusun Makmur ini sebagai Dusun Berwawasan Lingkungan dan menjadi satu-satunya Dusun di Kabupaten ini yang menerapkan kehidupan Warganya dengan Hidup Ramah Lingkungan ! ” demikian pidato singkat dari Ibu Bupati dalam perayaan Peresmian Dusun Terbaik dalam Lomba Dusun Se-Kabupaten yang berhak mendapatkan hadiah Trophy, Seekor Sapi dan Uang Pembinaan Sepuluh Juta Rupiah.

Pujian tak henti-henti diucapkan oleh Ibu Bupati terhadap Dusun Makmur. Ayah yang mendampingi Ibu Bupati bersama para Pejabat Teras kabupaten berjalan Mengelilingi jalan , gang, serta melihat secara langsung Rumah-rumah warga yang nampak bersih, tertata rapi dan nampak asri.

-        ” Wah... terasa Sejuk benar ini, sepanjang jalan ditanami bunga-bunga!” seru Ibu Bupati pada Ayahku.

-        ” Setiap rumah menanam sayuran di pekarangannya sendiri seperti ini ? ” tanya Ibu Bupati kepada Ayah. Ayah hanya tersenyum dan menganggukkan kepala mengiyakan.

-         ” Tempat sampah ini juga diusahakan sendiri oleh warga dan diletakkan di depan rumah seperti ini semua? ” kembali pertanyaan Ibu Bupati dilontarkan kepada Ayah.

-         ” Mereka mengusahakan dua  tempat sampah, yang satu untuk sampah plastik dan yang satunya untuk sampah kertas.” ayah berusaha menerangkan kepada Ibu Bupati. Terlihat raut muka Ibu Bupati nampak tersenyum puas dan mengangguk-anggukkan kepala. 

 

Sesaat sampai di Stand  pameran hasil industri rumah tangga yang digelar oleh ibu-ibu PKK, nampak Ibu Bupati semakin antusias. Pameran berbagai produk makanan yang sudah dikemas bagus dan berlabel ini sekilas tak percaya kalau makanan ini hasil industri Rumah Tangga yang dikerjakan Ibu-ibu sendiri.

-        ” Ini makanan apa namanya? ” tanya Ibu Bupati semakin penasaran, sambil membuka bungkusan kecil dengan label seperti Produk Pabrik dan mencicipi makanan yang diikuti oleh para pejabat kabupaten yang ikut mengiringi Ibu Bupati.

-        ” Ini, Getuk Ayu, Bu ! ” jawab Ayah secara sepontan.

-         ” Getuk Ayu, wah... rasanya enak benar, tidak kalah dengan getuk buatan lain daerah, yang sudah terkenal.” kembali Ibu bupati menyanjung. Terlihat Ibu-ibu penunggu stand tersenyum puas karena sanjungan Ibu Bupati. Mereka merasa diberi penghormatan karena mau merasakan makanan yang telah dibuatnya.

-         ” Getuk ini dibuat dengan bahan yang alami, pemanisnya juga alami. Getuk ini dinamakan getuk Ayu karena getuk ini campuran antara ketela dan nangka tetapi warnanya tetap putih bersih.” demikian Ayah menerangkan kepada Ibu Bupati.

 

Pandangan Ibu Bupati beralih di stand kerajinan. .Beberapa pigura yang terpajang menjadi sasaran Ibu Bupati untuk memegangnya.

-  ” Dibuat dari bahan apa, bisa sebagus ini?” tanya Ibu Bupati sepontan kepada para remaja yang menunggu Stan kerajinan tangan.

- ” Dari limbah ranting kayu, Bu!” jawab seorang remaja putri sambil menunjukkan piguranya.

-  ” Ini limbah ranting kayu bakar yang tidak terpakai dikumpulkan kemudian diasap biar kering dan ditambah warna hitamnya, kemudian dibersihkan pakai amplas dan dipernis biar nampak mengkilap.” tambah Ayah menerangkan kepada Ibu Bupati.

-  ” Bagus sekali, Siapa yang pertama mengajari pembuatan pigura seperti ini? ” tanya Ibu Bupati kepada penjaga stand itu. Dengan malu-malu dan takut Fitri, remaja penjaga stand itu menunjuk Ayah.

- ” Oh, jadi Pak RT sendiri to, yang mengajari ini?” Ayahku hanya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepala. Nampak wajah Ayah bergembira karena mendapat sanjungan Ibu Bupati.

 

 

Sambil berjalan pelan, Ibu Bupati yang diikuti para Pejabat Kabupaten sampai di stand terakhir. Beberapa tanaman sayuran dan pupuk yang sudah dikemas plastik menumpuk . ” Ini sayuran cabe Rawit yang menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari limbah dedaunan di rumahnya sendiri. ” ayah berusaha menerangkan pameran pohon cabe yang nampak hijau dan ditumbuhi buah yang segar.

-        ” Masih ada bibitnya, ini ? ” tanya Ibu Bupati. Ayah memandang bapak-bapak penjaga stand itu. Pak Karto yang tahu maksud  pandangan Ayah kemudian menjawab.

-         ” Ada, Bu. Kami membuat pembibitan sendiri. ” sambil mengambilkan bibit tanaman cabe rawit.

-         ” Pupuknya juga buatan sendiri?” kembali Ibu Bupati bertanya.

-         ” Ya, Bu. Kami telah diberi pelatihan cara membuat pupuk alami.” jawab Pak Karto.

-         ” Siapa yang memberi Pelatihan?” tanya Ibu Bupati sambil mengambil pupuk yang sudah di kemas plastik.

-         ” Kami mendatangkan tenaga ahli dari Dinas Pertanian Kabupaten, Bu.” sambung Ayah menjawab pertanyaan Ibu Bupati.

-         

”Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara semua. Kiranya cukup dan saya bangga atas prestasi yang telah diraih oleh Dusun Makmur ini. Saya berpesan agar hadiah Sapi dan uang dapat dimanfaatkan oleh warga. Sekali lagi saya atas nama Pemerintah Daerah memohon maaf dan beterimakasih kepada semua warga yang telah mencapai prestasi ini” tepuk tangan itu semakin bergemuruh saat Ibu Bupati menutup acara penyerahan Hadiah juara lomba dusun berwawasan lingkungan.

Tiba-tiba pundak Ayah dikejutkan oleh tangan Mungil yang menyentuhnya,  Lamunan Ayah pudar sambil masih memandangi Foto Jabat tangan antara Ayah dengan Ibu Bupati yang terpasang di ruang tamu. ” Ada apa dengan Foto itu, Pak?” tanya Ibuk sembari menyodorkan secangkir air teh panas.

 

”Aku bersyukur dan bangga dengan masyarakat di sini, semua pekerjaan dan program-program yang sudah diputuskan dalam rapat, semua mematuhi.” jawab Ayah sambil duduk di kursi tua.

-        ” Juara itu bukan bapak yang mendapatkan, tetapi semua warga di sini yang berhak mendaptkan, karena tanpa dukungan warga, semua tak akan berhasil.” timpal ibuk kepada Ayah.

-        ” Yah, tidak hanya semua warga, tetapi yang lebih penting, Ibuk dan anak-anakku yang selalu mendukung dan mendorong semangatku, tanpa dukungan Ibuk dan anak-anak, Aku tak ada apa-apanya, Aku tak dapat berbuat apa-apa.” sanjung Ayah kepada Ibu. Terlihat wajah Ibuk tersipu malu mendapat sanjungan dari Ayah.

-         ” Coba Ibuk renungkan perjalanan kita membangun dusun ini.”  Ayah memandangi Ibuk dengan penuh kasih sayang.  Wajah Ibuk menerawang ke atas, membayangkan betapa sulitnya dan betapa pedihnya akan meraih kesuksesan. Terbayang beberapa kejadian  yang masih segar dalam ingatan.

 

” Gila..., sudah gila ini....”

Semua orang terus mengatakan ” Gila ” pada keluargaku. Aku juga tak mengerti apa sebenarnya kemauan Ayahku. Semua warga diberi kantong plastik hitam besar, semua warga dilarang membuang sampah plastik dan kertas. Sampah-sampah yang ada di rumah tangga harus dimasukkan dalam kantong palstik yang sudah diberikan Ayah.

 Ayah akan selalu mendatangi rumah warga yang kedapatan membuang sampah kertas maupun plastik di pekarangannya. Aku semakin tak mengerti, semua sampah yang sudah terkumpul di setiap rumah, tiap hari minggu diambil oleh Ayahku, dikumpulkan di Rumah. 

” Ini gara-gara Ayah, semua menjadi repot ” gerutu dalam hatiku pada Ayah. Semenjak Ayahku menjadi Ketua RT di Kampung, ada-ada saja yang dilakukan oleh Ayah. Rapat RT selalu menghasilkan Program-program yang oleh orang desa belum lazim. Ada program menanam sayuran setiap rumah, kerja Bhakti membersihkan pekarangan  dan lingkungan setiap Hari Minggu,  termasuk kewajiban setiap warga mengumpulkan sampah dan masih banyak lagi program yang sudah dijalankan oleh Ayahku.

            ” Ayah sudah dikatakan Gila oleh masyarakat, apakah ayah tidak risih dengan ide-ide yang tak masuk akal ini? ” tanyaku pada Ayah saat hari Minggu sedang bekerja Bhakti. Ayahku tak menjawab. Dia hanya tersenyum yang membuatku semakin bertanya-tanya. Hari ini hari Minggu, anak-anaknya dan Ibuku disuruh ayah mengambil plastik di setiap rumahtangga di dusunku.

            ” Sekarang isi kantong dikeluarkan, disisihkan antara yang plastik dan yang kertas ! ” suruh ayah kepada anak-anaknya. Tak lama kemudian datanglah seorang Ibu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Ayah. Kulihat Ayah berbincang-bincang degan Ibu tersebut, kemudian mendatangi tumpukan sampah yang telah dipilah-pilah. Ternyata Ibu tersebut seorang pedagang ”Rosok” yang ingin membeli sampah yang telah dikumpulkan warga.  Dengan cekatan pedagang rosok  tersebut menimbang sampah-sampah warga dan dimasukkan ke dalam kantong besar yang sudah disiapkan. Akhirnya Ayahku diberi uang hasil penjualan sampah warga. ” Hari ini warga kita memperoleh tabungan duaratus lima puluh lima ribu rupiah, akan kita beritahukan pada warga kita bahwa sampah dapat mendatangkan keuntungan.” kata Ayah pada kami.

            Sudah bertahun-tahun Ayah menjalankan kegiatan pengumpulan sampah warga. Beberapa panggilan kurang sedap sempat disandang oleh Ayah. ” Pak RT Sampah ”, ” Pak RT Gila”,  ” Pak Kebun Sayur ”, sampai dijuluki, ”Pak Talok ” karena Ayahku berhasil menghijaukan tanah gersang pinggir sungai yang sering longsor menjadi tanah ”Hijau” yang ditanami pohon ” Talok ”. Lamunan Ibu pudar saat tangan ibu dipegang dengan lembut oleh Ayah.

            ” Sudahlah tidak usah kita ungkit-ungkit lagi masa yang lalu. Yang penting kita petik hikmah dari semua pekerjaan yang kita jalankan. Tak ada keberhasilan datang sendiri tanpa pengorbanan.” Ayah dan Ibu saling pandang dan tersenyum memandangi keberhasilan untuk diwariskan kepada anak cucu.”

 

                                                                        Bantul, 12 April 2010

 

                                                                       

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar