Selasa, 01 Agustus 2023

Cerpen Sentuhan Tangan Ayah

 

”Sentuhan Tangan Ayah”

Oleh : R. Purwantaka

 

Tepuk tangan itu masih bergemuruh saat Ibu Bupati memotong rangkaian pita dan ”Tumpeng” di Dusun Makmur. ” Secara resmi saya nyatakan Dusun Makmur ini sebagai Dusun Berwawasan Lingkungan dan menjadi satu-satunya Dusun di Kabupaten ini yang menerapkan kehidupan Warganya dengan Hidup Ramah Lingkungan ! ” demikian pidato singkat dari Ibu Bupati dalam perayaan Peresmian Dusun Terbaik dalam Lomba Dusun Se-Kabupaten yang berhak mendapatkan hadiah Trophy, Seekor Sapi dan Uang Pembinaan Sepuluh Juta Rupiah.

Pujian tak henti-henti diucapkan oleh Ibu Bupati terhadap Dusun Makmur. Ayah yang mendampingi Ibu Bupati bersama para Pejabat Teras kabupaten berjalan Mengelilingi jalan , gang, serta melihat secara langsung Rumah-rumah warga yang nampak bersih, tertata rapi dan nampak asri.

-        ” Wah... terasa Sejuk benar ini, sepanjang jalan ditanami bunga-bunga!” seru Ibu Bupati pada Ayahku.

-        ” Setiap rumah menanam sayuran di pekarangannya sendiri seperti ini ? ” tanya Ibu Bupati kepada Ayah. Ayah hanya tersenyum dan menganggukkan kepala mengiyakan.

-         ” Tempat sampah ini juga diusahakan sendiri oleh warga dan diletakkan di depan rumah seperti ini semua? ” kembali pertanyaan Ibu Bupati dilontarkan kepada Ayah.

-         ” Mereka mengusahakan dua  tempat sampah, yang satu untuk sampah plastik dan yang satunya untuk sampah kertas.” ayah berusaha menerangkan kepada Ibu Bupati. Terlihat raut muka Ibu Bupati nampak tersenyum puas dan mengangguk-anggukkan kepala. 

 

Sesaat sampai di Stand  pameran hasil industri rumah tangga yang digelar oleh ibu-ibu PKK, nampak Ibu Bupati semakin antusias. Pameran berbagai produk makanan yang sudah dikemas bagus dan berlabel ini sekilas tak percaya kalau makanan ini hasil industri Rumah Tangga yang dikerjakan Ibu-ibu sendiri.

-        ” Ini makanan apa namanya? ” tanya Ibu Bupati semakin penasaran, sambil membuka bungkusan kecil dengan label seperti Produk Pabrik dan mencicipi makanan yang diikuti oleh para pejabat kabupaten yang ikut mengiringi Ibu Bupati.

-        ” Ini, Getuk Ayu, Bu ! ” jawab Ayah secara sepontan.

-         ” Getuk Ayu, wah... rasanya enak benar, tidak kalah dengan getuk buatan lain daerah, yang sudah terkenal.” kembali Ibu bupati menyanjung. Terlihat Ibu-ibu penunggu stand tersenyum puas karena sanjungan Ibu Bupati. Mereka merasa diberi penghormatan karena mau merasakan makanan yang telah dibuatnya.

-         ” Getuk ini dibuat dengan bahan yang alami, pemanisnya juga alami. Getuk ini dinamakan getuk Ayu karena getuk ini campuran antara ketela dan nangka tetapi warnanya tetap putih bersih.” demikian Ayah menerangkan kepada Ibu Bupati.

 

Pandangan Ibu Bupati beralih di stand kerajinan. .Beberapa pigura yang terpajang menjadi sasaran Ibu Bupati untuk memegangnya.

-  ” Dibuat dari bahan apa, bisa sebagus ini?” tanya Ibu Bupati sepontan kepada para remaja yang menunggu Stan kerajinan tangan.

- ” Dari limbah ranting kayu, Bu!” jawab seorang remaja putri sambil menunjukkan piguranya.

-  ” Ini limbah ranting kayu bakar yang tidak terpakai dikumpulkan kemudian diasap biar kering dan ditambah warna hitamnya, kemudian dibersihkan pakai amplas dan dipernis biar nampak mengkilap.” tambah Ayah menerangkan kepada Ibu Bupati.

-  ” Bagus sekali, Siapa yang pertama mengajari pembuatan pigura seperti ini? ” tanya Ibu Bupati kepada penjaga stand itu. Dengan malu-malu dan takut Fitri, remaja penjaga stand itu menunjuk Ayah.

- ” Oh, jadi Pak RT sendiri to, yang mengajari ini?” Ayahku hanya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepala. Nampak wajah Ayah bergembira karena mendapat sanjungan Ibu Bupati.

 

 

Sambil berjalan pelan, Ibu Bupati yang diikuti para Pejabat Kabupaten sampai di stand terakhir. Beberapa tanaman sayuran dan pupuk yang sudah dikemas plastik menumpuk . ” Ini sayuran cabe Rawit yang menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari limbah dedaunan di rumahnya sendiri. ” ayah berusaha menerangkan pameran pohon cabe yang nampak hijau dan ditumbuhi buah yang segar.

-        ” Masih ada bibitnya, ini ? ” tanya Ibu Bupati. Ayah memandang bapak-bapak penjaga stand itu. Pak Karto yang tahu maksud  pandangan Ayah kemudian menjawab.

-         ” Ada, Bu. Kami membuat pembibitan sendiri. ” sambil mengambilkan bibit tanaman cabe rawit.

-         ” Pupuknya juga buatan sendiri?” kembali Ibu Bupati bertanya.

-         ” Ya, Bu. Kami telah diberi pelatihan cara membuat pupuk alami.” jawab Pak Karto.

-         ” Siapa yang memberi Pelatihan?” tanya Ibu Bupati sambil mengambil pupuk yang sudah di kemas plastik.

-         ” Kami mendatangkan tenaga ahli dari Dinas Pertanian Kabupaten, Bu.” sambung Ayah menjawab pertanyaan Ibu Bupati.

-         

”Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara semua. Kiranya cukup dan saya bangga atas prestasi yang telah diraih oleh Dusun Makmur ini. Saya berpesan agar hadiah Sapi dan uang dapat dimanfaatkan oleh warga. Sekali lagi saya atas nama Pemerintah Daerah memohon maaf dan beterimakasih kepada semua warga yang telah mencapai prestasi ini” tepuk tangan itu semakin bergemuruh saat Ibu Bupati menutup acara penyerahan Hadiah juara lomba dusun berwawasan lingkungan.

Tiba-tiba pundak Ayah dikejutkan oleh tangan Mungil yang menyentuhnya,  Lamunan Ayah pudar sambil masih memandangi Foto Jabat tangan antara Ayah dengan Ibu Bupati yang terpasang di ruang tamu. ” Ada apa dengan Foto itu, Pak?” tanya Ibuk sembari menyodorkan secangkir air teh panas.

 

 

 

”Aku bersyukur dan bangga dengan masyarakat di sini, semua pekerjaan dan program-program yang sudah diputuskan dalam rapat, semua mematuhi.” jawab Ayah sambil duduk di kursi tua.

-        ” Juara itu bukan bapak yang mendapatkan, tetapi semua warga di sini yang berhak mendaptkan, karena tanpa dukungan warga, semua tak akan berhasil.” timpal ibuk kepada Ayah.

-        ” Yah, tidak hanya semua warga, tetapi yang lebih penting, Ibuk dan anak-anakku yang selalu mendukung dan mendorong semangatku, tanpa dukungan Ibuk dan anak-anak, Aku tak ada apa-apanya, Aku tak dapat berbuat apa-apa.” sanjung Ayah kepada Ibu. Terlihat wajah Ibuk tersipu malu mendapat sanjungan dari Ayah.

-         ” Coba Ibuk renungkan perjalanan kita membangun dusun ini.”  Ayah memandangi Ibuk dengan penuh kasih sayang.  Wajah Ibuk menerawang ke atas, membayangkan betapa sulitnya dan betapa pedihnya akan meraih kesuksesan. Terbayang beberapa kejadian  yang masih segar dalam ingatan.

 

” Gila..., sudah gila ini....”

Semua orang terus mengatakan ” Gila ” pada keluargaku. Aku juga tak mengerti apa sebenarnya kemauan Ayahku. Semua warga diberi kantong plastik hitam besar, semua warga dilarang membuang sampah plastik dan kertas. Sampah-sampah yang ada di rumah tangga harus dimasukkan dalam kantong palstik yang sudah diberikan Ayah.

 Ayah akan selalu mendatangi rumah warga yang kedapatan membuang sampah kertas maupun plastik di pekarangannya. Aku semakin tak mengerti, semua sampah yang sudah terkumpul di setiap rumah, tiap hari minggu diambil oleh Ayahku, dikumpulkan di Rumah. 

” Ini gara-gara Ayah, semua menjadi repot ” gerutu dalam hatiku pada Ayah. Semenjak Ayahku menjadi Ketua RT di Kampung, ada-ada saja yang dilakukan oleh Ayah. Rapat RT selalu menghasilkan Program-program yang oleh orang desa belum lazim. Ada program menanam sayuran setiap rumah, kerja Bhakti membersihkan pekarangan  dan lingkungan setiap Hari Minggu,  termasuk kewajiban setiap warga mengumpulkan sampah dan masih banyak lagi program yang sudah dijalankan oleh Ayahku.

            ” Ayah sudah dikatakan Gila oleh masyarakat, apakah ayah tidak risih dengan ide-ide yang tak masuk akal ini? ” tanyaku pada Ayah saat hari Minggu sedang bekerja Bhakti. Ayahku tak menjawab. Dia hanya tersenyum yang membuatku semakin bertanya-tanya. Hari ini hari Minggu, anak-anaknya dan Ibuku disuruh ayah mengambil plastik di setiap rumahtangga di dusunku.

            ” Sekarang isi kantong dikeluarkan, disisihkan antara yang plastik dan yang kertas ! ” suruh ayah kepada anak-anaknya. Tak lama kemudian datanglah seorang Ibu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Ayah. Kulihat Ayah berbincang-bincang degan Ibu tersebut, kemudian mendatangi tumpukan sampah yang telah dipilah-pilah. Ternyata Ibu tersebut seorang pedagang ”Rosok” yang ingin membeli sampah yang telah dikumpulkan warga.  Dengan cekatan pedagang rosok  tersebut menimbang sampah-sampah warga dan dimasukkan ke dalam kantong besar yang sudah disiapkan. Akhirnya Ayahku diberi uang hasil penjualan sampah warga. ” Hari ini warga kita memperoleh tabungan duaratus lima puluh lima ribu rupiah, akan kita beritahukan pada warga kita bahwa sampah dapat mendatangkan keuntungan.” kata Ayah pada kami.

            Sudah bertahun-tahun Ayah menjalankan kegiatan pengumpulan sampah warga. Beberapa panggilan kurang sedap sempat disandang oleh Ayah. ” Pak RT Sampah ”, ” Pak RT Gila”,  ” Pak Kebun Sayur ”, sampai dijuluki, ”Pak Talok ” karena Ayahku berhasil menghijaukan tanah gersang pinggir sungai yang sering longsor menjadi tanah ”Hijau” yang ditanami pohon ” Talok ”. Lamunan Ibu pudar saat tangan ibu dipegang dengan lembut oleh Ayah.

            ” Sudahlah tidak usah kita ungkit-ungkit lagi masa yang lalu. Yang penting kita petik hikmah dari semua pekerjaan yang kita jalankan. Tak ada keberhasilan datang sendiri tanpa pengorbanan.” Ayah dan Ibu saling pandang dan tersenyum memandangi keberhasilan untuk diwariskan kepada anak cucu.”

 

                                                                        Bantul, 12 April 2010

 

                                                                       

 

Kasihmu Padaku

 

Kami  mengerti saat-saat pelajaran, kami masih saja bercanda dengan teman

Padahal Engkau telah memulai dengan pelajaran.

Kami tahu ketika materi harus dituntaskan, tapi kami masih berbincang tentang masa depan yang masih diawan.

Kami paham fatwa-fatwamu menjelang akhir waktu, namun kami masih asyik menghitung hari yang tak pernah berakhir.

 

Saat penyesalan itu tiba, kami hanya bisa menangis, meratapi waktu yang cepat berlalu tanpa kami perhitungkan.

Saat kegundahan telah datang membayang, merobek menghapus semua impian, memudarkan sebuah arapan dan cita-cita.

Saat kami harus memilih dan menentukan masa depan kami, kami tak mampu untuk mewujudkan.

 

Hari ini waktu telah datang dan memenggal kebahagiaan sesaat yang pernah kami reguk bersamamu

Hari ini telah nyata, waktu yang kami nanti selama tiga tahun, kenyataan-kenyataan yang tak sesuai  dengan harapan yang telah kami pahat dalam angan, hati, dan cita-cita.

Hari ini betul-betul kami rasakan, betapa kami sangat memerlukan Engkau, tapi kami tak pernah sadar.

 

Kami terlambat untuk dapat mengerti, dan penyesalan datang terlambat untuk dapat mengerti akan nasihatmu.

Kami saat ini menangispun tak dapat mengeluarkan air mata karena waktu telah memenggal perjalanan kita.

Kami malu untuk memohon bahkan tak punya muka untuk meminta maaf padamu karena kami tak dapat memenuhi harapan yang Engkau Idamkan.

 

Beri kami arti dalam segala kesalahan kami, beri kami maaf dalam ketak patuhan menjalankan fatwamu.

Beri kami kepercayaan sekali lagi, agar kami dapat ringankan langkah kami meraih cita kami yang belum terjawab.

Beri kami Doa agar tenangkan hati kami dalam mengejar sisa keinginan kami untuk mewujudkan sepenggal harapan yang masih Engkau tanamkan dalam setiap fatwamu.

 

Lembutnya sentuhan sanubarimu masih tersisa dalam relung hati yang paling dalam.

Kerasnya nyanyianmu setiap hari adalah cemeti yang masih kami jadikan untuk meraih cita kami.

Tangan-tangan lembutmu telah mendewasakan kami dalam berfikir dan bertindak untuk mengambil sebuah keputusan yang besar.

 

Berjuta kata yang menjelma dalam pikiran terbesit satu kata yang indah untuk kita. ” Terimakasih Bunda, terimakasih Bapak, doa dan maafmu kami harap dapat menyirami perjalanan mencari makna hidup yang baru saja akan kami mulai ”

 

                                                            Bantul, 24 April 2010

 

                                                            Rr. Reza Mutiara Pradipta Meikaka

                                                            Dalam  Antologi Penaku Menari Sendiri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JANGAN MENANGIS AYAH

 

Praaaaaaaak……………………….

Suara gelas pecah tiba-tiba terdegar di dapur…………. Lengkingan suara Mama sudah mulai bernyanyi . Lagi-lagi ayahku hanya tertunduk diam. Ayah tetap memasak membuatkan sarapan untukku dan adiku. Aku hanya bisa melihat dari kamar sambil memakai baju seragam. “Apa lagi yang diributkan ! “ kataku dalam hati. Mengapa pertengkaran harus dengan membanting gelas ? Kata-kata Mama sudah cukup pedas, menyakitkan. Kupandangi wajah Ayahku. Raut mukanya nampak ada kemarahan yang terpendam. Bibirnya komat-kamit membaca doa. Aku diam dalam tanya. Aku masih ingat betul dan masih hangat kurasakan pelukan Ayah, seakan –akan Ayah menjawab pertanyaan dalam hatiku. Dekapan erat dan belaian tangannya membuatku semakin mengerti tentang Ayah. Satu katapun tak terucap. Hanya linangan air mata sempat jatuh menimpa pipiku. Aku kaget, tak percaya, tapi Ayahku tetap berusaha tegar dihadapan anak-anaknya.

 

Aku semakin tak mengerti. Ayahku tak pernah berbicara degan anak-anaknya tentang masalah yang sedang dihadapi karena memang aku masih duduk di SMP, sedang adikku masih di SD. Mungkin aku dan adik tak boleh tahu gejolak hati yang sedang melanda Ayah. Aku tetap dapat merasakan, Ayah sudah selalu mengalah, pulang kerja masih harus bekerja lagi sampai aku tidak tahu sebenarnya pekerjaan Ayah itu Guru atau apalah ? Sering pertanyaan itu muncul dalam benak hatiku. Kalau Ayah seorang guru mestinya jam dua sudah pulang, tetapi pulang sebentar masih harus bekerja lagi, katanya cari uang untuk jajan Adik. Larut malam Ayah masih juga bekerja di depan Leptop menulis-nulis.

“Biarlah aku tak ingin mengerti apa yang sedang terjadi.”  Kataku dalam hati. Namun kulihat makin lama ayah semakin berkurang kesehatanya. Malam Sabtu terdengar suara Ayah membuka pintu kamar degan tergesa-gesa. Ayahku lari ke belakag mencari sesuatu, Aku belum dapat tidur saat itu. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Rintihan ayah terdengar sayup-sayup. Aku berusaha bangun menengok Ayah yang sedang mencari sesuatu. Aku tak berani bertanya. Hanya kupandangi wajah Ayah menahan rasa sakit yag luar biasa sambil memegangi pinggangnya. Ternyata ayah menemukan sesuatu yang dicarinya. Kunci ya … kunci sepeda motor. Diraihnya kunci itu kemudian mengambil motor, dengan tergesa menyuruhku “ Dik, tolong bukakan pintu garasi, ya!” Aku yang sedang berdiri memandagi Ayah menahan rasa sakit kemudian berlari membukakan pintu. Ayahku tergesa menghidupkan motornya dan melaju dengan tergesa-gesa, “ Ayah ke rumah Sakit, Ya, Dik!”

Aku diam seribu bahasa tak dapat berucap apa-apa. Hatiku berdoa,” Semoga ayah cepat sembuh.” Suara motor itu menghilag tak terdengar lagi. Saat aku menutup pintu tiba-tiba Mamaku bangun. “ Ayahmu mau kemana malam-malam begini?” tanya Mama dengan ketusnya. Hatiku menangis. mengapa Mama setega itu. Sudah tiap hari Ayah kena marah, dalam keadaan sakit seperti itu masih juga tidak mau mengerti. Aku berusaha menjawab walaupun dalam hatiku mau berontak, “ Ke Rumah Sakit.” Tak ada reaksi apa-apa yang diperlihatkan Mama, Ia langsung masuk kamar lagi sambil berucap,“ Kebiasaan Ayahmu sakit perut.”

 

Aku pergi ke kamar mandi ambil air wudlu, aku kerjakan sholat sambil mendoakan Ayahku semoga cepat sembuh. Kubayangkan perjalanan Ayahku ke rumah sakit dengan menahan rasa sakit. Aku menangis, “ Mengapa aku tidak ikut mengantar Ayah, bodoh benar diriku !” sambil terus menangis meratapi penyesalanku. Segara kuraih Hp yang ada di kamar, aku berpikir Ayah pasti juga bawa Hp. Aku berusaha menghubungi Ayah. Benar dugaanku. Ayah membawa Hp. Segara aku bertanya tentang kesehatan Ayah. Dengan nada lembut Ayah bilang, “ Aku tidak apa-apa. Sudah disuntik dan diberi obat, Ayah segara pulang, Dik!” Lega rasanya hatiku mendengar suara ayahku. Tapi aku tidak tahu sakit apa sebenarnya yang sedang dirasakan Ayahku. Aku menunggu tidak bisa tidur. Lama sekali menunggu, akhirnya suara motor itu terdegar, aku bergegas membukakan pintu. Kupandangi wajah ayahku, air mataku tak tertahan menetes, kupeluk tubuh ayahku. Ayah hanya membelai rambutku kemudian berucap, “ Adik, Kok, Belum tidur, sayang!” Tangisku semakin menjadi, suara lembut Ayah membuatku semakin merasakan betapa Ayah sangat sayang padaku.

Motor sudah dimasukkan. Tangan Ayah masih ku pegang erat. Ku gandeng masuk rumah. Ku lihat jam dinding menunjukkan jam 01.30. Memang sudah larut malam. Lampu ruang Tamu dinyalakan. Ayahku sambil meghela napas duduk di kursi. Pandangannya menerawang ke angkasa. “ Pasti ada yang dipikirkan.” Tanyaku dalam hati. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayah. Tapi aku juga tidak mau bertanya, apa sebenarnya yang sedang dipikirkan. Aku masuk ke kamar sambil mencium tangan Ayah yang masih duduk di kursi.

Kutulis seuntai puisi untuk ayah. Kuletakkan di atas meja kamar ayah. Aku berharap esok pagi ketika ayah bangun mau membaca puisiku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidurlah Ayah

 

Kamar itu masih terbuka pintunya

Kulihat ayah tergolek dengan pulas

Dengusan nafasnya lembut

 

Kupandangi ayah dari pintu kamar

“Tidurlah ayah………………….”

“ Akan aku jaga di sampingmu, agar ayah dapat melupakan sejenak

Kepenatan dan kesedihan “

“ Tidurlah ayah…………………”

 

“ Walaupun aku tahu dalam tidurmu masih ayah simpan sebuah rahasia”

“ walaupuna  aku tahu dalam tidurmu, ayah masih merasakan kesedihan yang mendalam”

 

Kulihat raut mukanya tenang.

Setenang ketika menghadapi masalahmu

Setenang ayah saat berbicara meyakinkan aku

 

Tidurlah Ayah…………………………………….

 

 

 

 

 

 

 

Keseokan harinya ayah bangun seperti biasa, aku berharap Ayah sudah membaca puisi yang kuletakkan di atas meja. Sudah menjadi kebiasaan Ayah untuk lebih awal pergi ke Musholla.  Habis mengumandangkan Azan subuh yang sudah rutin Ayah lakukan di Musholla, Ayah sholat subuh berjamaah dengan tetangga, aku juga mengikuti ayah. Seperti biasanya, setelah sholat subuh, ayah memasak untuk aku dan adikku. Hanya sebentar-sebentar masih kulihat rasa sakit yang ditahan ayahku. Itu berlangsung berhari-hari. Perkembangan kesehatan ayahku selalu kuperhatikan, bukan semakin membaik, tetapi terlihat semakin memburuk hingga suatu hari aku mendapat kabar kalau Ayah masuk rumah sakit terkena serangan Stroke. Separo badanya tidak bisa digerakkan. Tergesa aku segera menengok Ayah. Tak peduli degan mengayuh sepeda hadiah pemberian Ayah, aku bergegas menuju Rumah Sakit “Panembahan Senopati”. Kudapati Ayah ku Tidur tergolek lemas tidak bisa bergerak. “ Ayah…..!” kataku sambil memeluk tubuh Ayah. Ayahku hanya bisa menjawab lirih dengan suara yang tidak jelas karena bibirnya terlihat agak miring sedikit. Aku menangis dipelukan Ayah. Seandainya aku boleh menjerit, aku akan menjerit sekeras mugkin. Kutahan rasa ibaku pada Ayah. Kupegangi tangan ayah yang tak dapat digerakkan. Kupijit sambil hatiku bertanya-tanya.

Setelah sembuh, Ayah pulang ke rumah. Hari-hari tidak semakin menyenangkan. Ada saja perkara yang bisa menyulut emosi Mama. Aku tak habis mengerti. Hanya semakin kulihat semangat Ayah semakin berkurang. Ayahku berusaha tegar. Empat bulan sudah aku merasakan Rumah seperti tidak ada keharmonisan. Semua serba salah, kata-kata Mama semakin tak dapat dikendalikan. Ayahku tetap kulihat bersabar. Hingga suatu saat aku mendengar pertengkaran mereka. Kalimat yang aku belum tahu maknanya, namun masih ku ingat betul. “ Aku memang sudah tidak bisa apa-apa, sekarang terserah semuanya. Akan kuurus anak-anak semampu saya!” kata ayah dengan memelas terdengar lirih tapi sangat jelas. Aku tak tahu maknanya, sampai sekarang tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Ayahku. Suatu saat ketika ayahku  pulang kerja kupeluk erat tubuhnya. “Adik sayang Ayah. Jangan menagis Ayah. Aku tahu ayah sedang ada masalah, tapi Adik tidak pernah Ayah beritahu.” Kata-kataku ternyata meluluhkan hati Ayah. Air matanya kembali menetes. Suasana menjadi heing. Dekapan erat dan ciuman Ayah di keningku, membuatku semakin mengerti kasih sayag ayah padaku. “ Adik sekolah yang pinter, ya!” ucapan lirih sambil memandangi wajahku. “ Ya, Ayah. Aku akan membahagiakan Ayah kalau aku sudah besar dan bekerja nanti!” ucapku sambil menghapus air mata ayah yang masih ada di pipinya. Pelukan erat dan hangatnya belaian Ayah membuatku semakin mengerti. Aku akan tahu apa yang di derita Ayah jika aku sudah besar. Kata-kata ayah itu sampai sekarang masih kusimpan.

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIODATA

 

 

Nama                          : Rr. Nazauma Nareswara Wulantaka

Tempat, Tgl Lahir      : Bantul, 14 September 1995

Alamat                                    : Manding  Rt. 03, Trirenggo, Bantul ( Kode Pos )55714

            Status                          : Pelajar

            Prestasi                       ;

           

No

Jenis

Hasil

Keterangan

Tahun

1

Karya Ilmiah Remaja

Juara 2

Nasional

2010

2

Penulisan Cerpen

Juara 1

Kabupaten

2007

3

Penulisan Cerpen Remaja

Juara 1

Kabupaten

2010

4

Baca Puisi

Juara 3

Kabupaten

2007

5

Baca Puisi

Juara 2

DIY

2003

6

Wisudawan S1

Terbaik/ Cumlaude

UIN

2018

7

Wisudawan S2

Terbaik/Cumlaude

UIN

2020

 

Hasil Karya

1. Penelitian                : ” Persepsi Siswa terhdap Slogan Kampanye Peilkada Kab.                         Bantul 2010 dari segi geografi, sejarah, ekonomi, dan Bahasa.

2. Cerpen                    : ”  Penjual Asongan Manding ”

3. Cerpen                    : ” Sentuhan Tangan Ayah ”

4. Antologi Puisi        : ” ” Segenggam Asa ”

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar