Sentuhan
Tangan Ayah
Tepuk tangan itu masih bergemuruh saat Ibu Bupati
memotong rangkaian pita dan ”Tumpeng” di Dusun Makmur. ” Secara resmi saya
nyatakan Dusun Makmur ini sebagai Dusun Berwawasan Lingkungan dan menjadi
satu-satunya Dusun di Kabupaten ini yang menerapkan kehidupan Warganya dengan
Hidup Ramah Lingkungan ! ” demikian pidato singkat dari Ibu Bupati dalam
perayaan Peresmian Dusun Terbaik dalam Lomba Dusun Se-Kabupaten yang berhak
mendapatkan hadiah Trophy, Seekor Sapi dan Uang Pembinaan Sepuluh Juta Rupiah.
Pujian tak henti-henti diucapkan oleh Ibu Bupati
terhadap Dusun Makmur. Ayah yang mendampingi Ibu Bupati bersama para Pejabat
Teras kabupaten berjalan Mengelilingi jalan , gang, serta melihat secara
langsung Rumah-rumah warga yang nampak bersih, tertata rapi dan nampak asri.
-
”
Wah... terasa Sejuk benar ini, sepanjang jalan ditanami bunga-bunga!” seru Ibu
Bupati pada Ayahku.
-
”
Setiap rumah menanam sayuran di pekarangannya sendiri seperti ini ? ” tanya Ibu
Bupati kepada Ayah. Ayah hanya tersenyum dan menganggukkan kepala mengiyakan.
-
” Tempat sampah ini juga diusahakan sendiri
oleh warga dan diletakkan di depan rumah seperti ini semua? ” kembali
pertanyaan Ibu Bupati dilontarkan kepada Ayah.
-
” Mereka mengusahakan dua tempat sampah, yang satu untuk sampah plastik
dan yang satunya untuk sampah kertas.” ayah berusaha menerangkan kepada Ibu
Bupati. Terlihat raut muka Ibu Bupati nampak tersenyum puas dan
mengangguk-anggukkan kepala.
Sesaat sampai di Stand pameran hasil industri rumah tangga yang
digelar oleh ibu-ibu PKK, nampak Ibu Bupati semakin antusias. Pameran berbagai
produk makanan yang sudah dikemas bagus dan berlabel ini sekilas tak percaya
kalau makanan ini hasil industri Rumah Tangga yang dikerjakan Ibu-ibu sendiri.
-
” Ini
makanan apa namanya? ” tanya Ibu Bupati semakin penasaran, sambil membuka
bungkusan kecil dengan label seperti Produk Pabrik dan mencicipi makanan yang
diikuti oleh para pejabat kabupaten yang ikut mengiringi Ibu Bupati.
-
”
Ini, Getuk Ayu, Bu ! ” jawab Ayah secara sepontan.
-
” Getuk Ayu, wah... rasanya enak benar, tidak
kalah dengan getuk buatan lain daerah, yang sudah terkenal.” kembali Ibu bupati
menyanjung. Terlihat Ibu-ibu penunggu stand tersenyum puas karena sanjungan Ibu
Bupati. Mereka merasa diberi penghormatan karena mau merasakan makanan yang
telah dibuatnya.
-
” Getuk ini dibuat dengan bahan yang alami,
pemanisnya juga alami. Getuk ini dinamakan getuk Ayu karena getuk ini campuran
antara ketela dan nangka tetapi warnanya tetap putih bersih.” demikian Ayah
menerangkan kepada Ibu Bupati.
Pandangan Ibu Bupati beralih di stand kerajinan.
.Beberapa pigura yang terpajang menjadi sasaran Ibu Bupati untuk memegangnya.
- ” Dibuat
dari bahan apa, bisa sebagus ini?” tanya Ibu Bupati sepontan kepada para remaja
yang menunggu Stan kerajinan tangan.
- ” Dari limbah ranting kayu, Bu!” jawab seorang
remaja putri sambil menunjukkan piguranya.
- ” Ini
limbah ranting kayu bakar yang tidak terpakai dikumpulkan kemudian diasap biar
kering dan ditambah warna hitamnya, kemudian dibersihkan pakai amplas dan
dipernis biar nampak mengkilap.” tambah Ayah menerangkan kepada Ibu Bupati.
- ” Bagus
sekali, Siapa yang pertama mengajari pembuatan pigura seperti ini? ” tanya Ibu
Bupati kepada penjaga stand itu. Dengan malu-malu dan takut Fitri, remaja
penjaga stand itu menunjuk Ayah.
- ” Oh, jadi Pak RT sendiri to, yang mengajari
ini?” Ayahku hanya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepala. Nampak wajah
Ayah bergembira karena mendapat sanjungan Ibu Bupati.
Sambil berjalan pelan, Ibu Bupati yang diikuti
para Pejabat Kabupaten sampai di stand terakhir. Beberapa tanaman sayuran dan
pupuk yang sudah dikemas plastik menumpuk . ” Ini sayuran cabe Rawit yang
menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari limbah dedaunan di rumahnya
sendiri. ” ayah berusaha menerangkan pameran pohon cabe yang nampak hijau dan
ditumbuhi buah yang segar.
-
”
Masih ada bibitnya, ini ? ” tanya Ibu Bupati. Ayah memandang bapak-bapak
penjaga stand itu. Pak Karto yang tahu maksud
pandangan Ayah kemudian menjawab.
-
” Ada, Bu. Kami membuat pembibitan sendiri. ”
sambil mengambilkan bibit tanaman cabe rawit.
-
” Pupuknya juga buatan sendiri?” kembali Ibu
Bupati bertanya.
-
” Ya, Bu. Kami telah diberi pelatihan cara
membuat pupuk alami.” jawab Pak Karto.
-
” Siapa yang memberi Pelatihan?” tanya Ibu
Bupati sambil mengambil pupuk yang sudah di kemas plastik.
-
” Kami mendatangkan tenaga ahli dari Dinas
Pertanian Kabupaten, Bu.” sambung Ayah menjawab pertanyaan Ibu Bupati.
-
”Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara semua. Kiranya
cukup dan saya bangga atas prestasi yang telah diraih oleh Dusun Makmur ini.
Saya berpesan agar hadiah Sapi dan uang dapat dimanfaatkan oleh warga. Sekali
lagi saya atas nama Pemerintah Daerah memohon maaf dan beterimakasih kepada
semua warga yang telah mencapai prestasi ini” tepuk tangan itu semakin
bergemuruh saat Ibu Bupati menutup acara penyerahan Hadiah juara lomba dusun
berwawasan lingkungan.
Tiba-tiba pundak Ayah dikejutkan oleh tangan
Mungil yang menyentuhnya, Lamunan Ayah
pudar sambil masih memandangi Foto Jabat tangan antara Ayah dengan Ibu Bupati
yang terpasang di ruang tamu. ” Ada apa dengan Foto itu, Pak?” tanya Ibuk
sembari menyodorkan secangkir air teh panas.
”Aku bersyukur dan bangga dengan masyarakat di
sini, semua pekerjaan dan program-program yang sudah diputuskan dalam rapat,
semua mematuhi.” jawab Ayah sambil duduk di kursi tua.
-
”
Juara itu bukan bapak yang mendapatkan, tetapi semua warga di sini yang berhak
mendaptkan, karena tanpa dukungan warga, semua tak akan berhasil.” timpal ibuk
kepada Ayah.
-
”
Yah, tidak hanya semua warga, tetapi yang lebih penting, Ibuk dan anak-anakku
yang selalu mendukung dan mendorong semangatku, tanpa dukungan Ibuk dan
anak-anak, Aku tak ada apa-apanya, Aku tak dapat berbuat apa-apa.” sanjung Ayah
kepada Ibu. Terlihat wajah Ibuk tersipu malu mendapat sanjungan dari Ayah.
-
” Coba Ibuk renungkan perjalanan kita
membangun dusun ini.” Ayah memandangi
Ibuk dengan penuh kasih sayang. Wajah
Ibuk menerawang ke atas, membayangkan betapa sulitnya dan
betapa pedihnya akan meraih kesuksesan. Terbayang beberapa kejadian yang masih segar dalam ingatan.
” Gila..., sudah gila ini....”
Semua orang terus mengatakan ” Gila ” pada
keluargaku. Aku juga tak mengerti apa sebenarnya kemauan Ayahku. Semua warga
diberi kantong plastik hitam besar, semua warga dilarang membuang sampah
plastik dan kertas. Sampah-sampah yang ada di rumah tangga harus dimasukkan
dalam kantong palstik yang sudah diberikan Ayah.
Ayah akan selalu mendatangi rumah warga yang
kedapatan membuang sampah kertas maupun plastik di pekarangannya. Aku semakin
tak mengerti, semua sampah yang sudah terkumpul di setiap rumah, tiap hari
minggu diambil oleh Ayahku, dikumpulkan di Rumah.
” Ini gara-gara Ayah, semua
menjadi repot ” gerutu dalam hatiku pada Ayah. Semenjak Ayahku menjadi Ketua RT
di Kampung, ada-ada saja yang dilakukan oleh Ayah. Rapat RT selalu menghasilkan
Program-program yang oleh orang desa belum lazim. Ada program menanam sayuran
setiap rumah, kerja Bhakti membersihkan pekarangan dan lingkungan setiap Hari Minggu, termasuk kewajiban setiap warga mengumpulkan
sampah dan masih banyak lagi program yang sudah dijalankan oleh Ayahku.
”
Ayah sudah dikatakan Gila oleh masyarakat, apakah ayah tidak risih dengan
ide-ide yang tak masuk akal ini? ” tanyaku pada Ayah saat hari Minggu sedang
bekerja Bhakti. Ayahku tak menjawab. Dia hanya tersenyum yang membuatku semakin
bertanya-tanya. Hari ini hari Minggu, anak-anaknya dan Ibuku disuruh ayah
mengambil plastik di setiap rumahtangga di dusunku.
”
Sekarang isi kantong dikeluarkan, disisihkan antara yang plastik dan yang
kertas ! ” suruh ayah kepada anak-anaknya. Tak lama kemudian datanglah seorang
Ibu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Ayah. Kulihat Ayah
berbincang-bincang degan Ibu tersebut, kemudian mendatangi tumpukan sampah yang
telah dipilah-pilah. Ternyata Ibu tersebut seorang pedagang ”Rosok” yang ingin
membeli sampah yang telah dikumpulkan warga.
Dengan cekatan pedagang rosok tersebut
menimbang sampah-sampah warga dan dimasukkan ke dalam kantong besar yang sudah
disiapkan. Akhirnya Ayahku diberi uang hasil penjualan sampah warga. ” Hari ini
warga kita memperoleh tabungan duaratus lima puluh lima ribu rupiah, akan kita
beritahukan pada warga kita bahwa sampah dapat mendatangkan keuntungan.” kata
Ayah pada kami.
Sudah
bertahun-tahun Ayah menjalankan kegiatan pengumpulan sampah warga. Beberapa
panggilan kurang sedap sempat disandang oleh Ayah. ” Pak RT Sampah ”, ” Pak RT
Gila”, ” Pak Kebun Sayur ”, sampai
dijuluki, ”Pak Talok ” karena Ayahku berhasil menghijaukan tanah gersang
pinggir sungai yang sering longsor menjadi tanah ”Hijau” yang ditanami pohon ”
Talok ”. Lamunan Ibu pudar saat
tangan ibu dipegang dengan lembut oleh Ayah.
”
Sudahlah tidak usah kita ungkit-ungkit lagi masa yang lalu. Yang penting kita
petik hikmah dari semua pekerjaan yang kita jalankan. Tak ada keberhasilan
datang sendiri tanpa pengorbanan.” Ayah dan Ibu saling pandang dan tersenyum
memandangi keberhasilan untuk diwariskan kepada anak cucu.”
Bantul,
12 April 2010
R.Purwantaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar