”Sentuhan
Tangan Ayah”
Oleh :
R. Purwantaka
Tepuk tangan itu masih bergemuruh saat Ibu Bupati
memotong rangkaian pita dan ”Tumpeng” di Dusun Makmur. ” Secara resmi saya
nyatakan Dusun Makmur ini sebagai Dusun Berwawasan Lingkungan dan menjadi
satu-satunya Dusun di Kabupaten ini yang menerapkan kehidupan Warganya dengan
Hidup Ramah Lingkungan ! ” demikian pidato singkat dari Ibu Bupati dalam
perayaan Peresmian Dusun Terbaik dalam Lomba Dusun Se-Kabupaten yang berhak
mendapatkan hadiah Trophy, Seekor Sapi dan Uang Pembinaan Sepuluh Juta Rupiah.
Pujian tak henti-henti diucapkan oleh Ibu Bupati
terhadap Dusun Makmur. Ayah yang mendampingi Ibu Bupati bersama para Pejabat
Teras kabupaten berjalan Mengelilingi jalan , gang, serta melihat secara
langsung Rumah-rumah warga yang nampak bersih, tertata rapi dan nampak asri.
-
”
Wah... terasa Sejuk benar ini, sepanjang jalan ditanami bunga-bunga!” seru Ibu
Bupati pada Ayahku.
-
”
Setiap rumah menanam sayuran di pekarangannya sendiri seperti ini ? ” tanya Ibu
Bupati kepada Ayah. Ayah hanya tersenyum dan menganggukkan kepala mengiyakan.
-
” Tempat sampah ini juga diusahakan sendiri
oleh warga dan diletakkan di depan rumah seperti ini semua? ” kembali
pertanyaan Ibu Bupati dilontarkan kepada Ayah.
-
” Mereka mengusahakan dua tempat sampah, yang satu untuk sampah plastik
dan yang satunya untuk sampah kertas.” ayah berusaha menerangkan kepada Ibu
Bupati. Terlihat raut muka Ibu Bupati nampak tersenyum puas dan
mengangguk-anggukkan kepala.
Sesaat sampai di Stand pameran hasil industri rumah tangga yang
digelar oleh ibu-ibu PKK, nampak Ibu Bupati semakin antusias. Pameran berbagai
produk makanan yang sudah dikemas bagus dan berlabel ini sekilas tak percaya
kalau makanan ini hasil industri Rumah Tangga yang dikerjakan Ibu-ibu sendiri.
-
” Ini
makanan apa namanya? ” tanya Ibu Bupati semakin penasaran, sambil membuka
bungkusan kecil dengan label seperti Produk Pabrik dan mencicipi makanan yang
diikuti oleh para pejabat kabupaten yang ikut mengiringi Ibu Bupati.
-
”
Ini, Getuk Ayu, Bu ! ” jawab Ayah secara sepontan.
-
” Getuk Ayu, wah... rasanya enak benar, tidak
kalah dengan getuk buatan lain daerah, yang sudah terkenal.” kembali Ibu bupati
menyanjung. Terlihat Ibu-ibu penunggu stand tersenyum puas karena sanjungan Ibu
Bupati. Mereka merasa diberi penghormatan karena mau merasakan makanan yang
telah dibuatnya.
-
” Getuk ini dibuat dengan bahan yang alami,
pemanisnya juga alami. Getuk ini dinamakan getuk Ayu karena getuk ini campuran
antara ketela dan nangka tetapi warnanya tetap putih bersih.” demikian Ayah
menerangkan kepada Ibu Bupati.
Pandangan Ibu Bupati beralih di stand kerajinan.
.Beberapa pigura yang terpajang menjadi sasaran Ibu Bupati untuk memegangnya.
- ” Dibuat
dari bahan apa, bisa sebagus ini?” tanya Ibu Bupati sepontan kepada para remaja
yang menunggu Stan kerajinan tangan.
- ” Dari limbah ranting kayu, Bu!” jawab seorang
remaja putri sambil menunjukkan piguranya.
- ” Ini
limbah ranting kayu bakar yang tidak terpakai dikumpulkan kemudian diasap biar
kering dan ditambah warna hitamnya, kemudian dibersihkan pakai amplas dan
dipernis biar nampak mengkilap.” tambah Ayah menerangkan kepada Ibu Bupati.
- ” Bagus
sekali, Siapa yang pertama mengajari pembuatan pigura seperti ini? ” tanya Ibu
Bupati kepada penjaga stand itu. Dengan malu-malu dan takut Fitri, remaja
penjaga stand itu menunjuk Ayah.
- ” Oh, jadi Pak RT sendiri to, yang mengajari
ini?” Ayahku hanya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepala. Nampak wajah
Ayah bergembira karena mendapat sanjungan Ibu Bupati.
Sambil berjalan pelan, Ibu Bupati yang diikuti
para Pejabat Kabupaten sampai di stand terakhir. Beberapa tanaman sayuran dan
pupuk yang sudah dikemas plastik menumpuk . ” Ini sayuran cabe Rawit yang
menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari limbah dedaunan di rumahnya
sendiri. ” ayah berusaha menerangkan pameran pohon cabe yang nampak hijau dan
ditumbuhi buah yang segar.
-
”
Masih ada bibitnya, ini ? ” tanya Ibu Bupati. Ayah memandang bapak-bapak
penjaga stand itu. Pak Karto yang tahu maksud
pandangan Ayah kemudian menjawab.
-
” Ada, Bu. Kami membuat pembibitan sendiri. ”
sambil mengambilkan bibit tanaman cabe rawit.
-
” Pupuknya juga buatan sendiri?” kembali Ibu
Bupati bertanya.
-
” Ya, Bu. Kami telah diberi pelatihan cara
membuat pupuk alami.” jawab Pak Karto.
-
” Siapa yang memberi Pelatihan?” tanya Ibu
Bupati sambil mengambil pupuk yang sudah di kemas plastik.
-
” Kami mendatangkan tenaga ahli dari Dinas
Pertanian Kabupaten, Bu.” sambung Ayah menjawab pertanyaan Ibu Bupati.
-
”Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara semua. Kiranya
cukup dan saya bangga atas prestasi yang telah diraih oleh Dusun Makmur ini.
Saya berpesan agar hadiah Sapi dan uang dapat dimanfaatkan oleh warga. Sekali
lagi saya atas nama Pemerintah Daerah memohon maaf dan beterimakasih kepada
semua warga yang telah mencapai prestasi ini” tepuk tangan itu semakin
bergemuruh saat Ibu Bupati menutup acara penyerahan Hadiah juara lomba dusun
berwawasan lingkungan.
Tiba-tiba pundak Ayah dikejutkan oleh tangan
Mungil yang menyentuhnya, Lamunan Ayah
pudar sambil masih memandangi Foto Jabat tangan antara Ayah dengan Ibu Bupati
yang terpasang di ruang tamu. ” Ada apa dengan Foto itu, Pak?” tanya Ibuk
sembari menyodorkan secangkir air teh panas.
”Aku bersyukur dan bangga dengan masyarakat di
sini, semua pekerjaan dan program-program yang sudah diputuskan dalam rapat,
semua mematuhi.” jawab Ayah sambil duduk di kursi tua.
-
”
Juara itu bukan bapak yang mendapatkan, tetapi semua warga di sini yang berhak
mendaptkan, karena tanpa dukungan warga, semua tak akan berhasil.” timpal ibuk
kepada Ayah.
-
”
Yah, tidak hanya semua warga, tetapi yang lebih penting, Ibuk dan anak-anakku
yang selalu mendukung dan mendorong semangatku, tanpa dukungan Ibuk dan
anak-anak, Aku tak ada apa-apanya, Aku tak dapat berbuat apa-apa.” sanjung Ayah
kepada Ibu. Terlihat wajah Ibuk tersipu malu mendapat sanjungan dari Ayah.
-
” Coba Ibuk renungkan perjalanan kita
membangun dusun ini.” Ayah memandangi
Ibuk dengan penuh kasih sayang. Wajah
Ibuk menerawang ke atas, membayangkan betapa sulitnya dan
betapa pedihnya akan meraih kesuksesan. Terbayang beberapa kejadian yang masih segar dalam ingatan.
” Gila..., sudah gila ini....”
Semua orang terus mengatakan ” Gila ” pada
keluargaku. Aku juga tak mengerti apa sebenarnya kemauan Ayahku. Semua warga
diberi kantong plastik hitam besar, semua warga dilarang membuang sampah
plastik dan kertas. Sampah-sampah yang ada di rumah tangga harus dimasukkan
dalam kantong palstik yang sudah diberikan Ayah.
Ayah akan selalu mendatangi rumah warga yang
kedapatan membuang sampah kertas maupun plastik di pekarangannya. Aku semakin
tak mengerti, semua sampah yang sudah terkumpul di setiap rumah, tiap hari
minggu diambil oleh Ayahku, dikumpulkan di Rumah.
” Ini gara-gara Ayah, semua menjadi repot
” gerutu dalam hatiku pada Ayah. Semenjak Ayahku menjadi Ketua RT di Kampung,
ada-ada saja yang dilakukan oleh Ayah. Rapat RT selalu menghasilkan
Program-program yang oleh orang desa belum lazim. Ada program menanam sayuran
setiap rumah, kerja Bhakti membersihkan pekarangan dan lingkungan setiap Hari Minggu, termasuk kewajiban setiap warga mengumpulkan
sampah dan masih banyak lagi program yang sudah dijalankan oleh Ayahku.
”
Ayah sudah dikatakan Gila oleh masyarakat, apakah ayah tidak risih dengan
ide-ide yang tak masuk akal ini? ” tanyaku pada Ayah saat hari Minggu sedang
bekerja Bhakti. Ayahku tak menjawab. Dia hanya tersenyum yang membuatku semakin
bertanya-tanya. Hari ini hari Minggu, anak-anaknya dan Ibuku disuruh ayah
mengambil plastik di setiap rumahtangga di dusunku.
”
Sekarang isi kantong dikeluarkan, disisihkan antara yang plastik dan yang
kertas ! ” suruh ayah kepada anak-anaknya. Tak lama kemudian datanglah seorang
Ibu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Ayah. Kulihat Ayah
berbincang-bincang degan Ibu tersebut, kemudian mendatangi tumpukan sampah yang
telah dipilah-pilah. Ternyata Ibu tersebut seorang pedagang ”Rosok” yang ingin
membeli sampah yang telah dikumpulkan warga.
Dengan cekatan pedagang rosok
tersebut menimbang sampah-sampah warga dan dimasukkan ke dalam kantong
besar yang sudah disiapkan. Akhirnya Ayahku diberi uang hasil penjualan sampah
warga. ” Hari ini warga kita memperoleh tabungan duaratus lima puluh lima ribu
rupiah, akan kita beritahukan pada warga kita bahwa sampah dapat mendatangkan
keuntungan.” kata Ayah pada kami.
Sudah
bertahun-tahun Ayah menjalankan kegiatan pengumpulan sampah warga. Beberapa
panggilan kurang sedap sempat disandang oleh Ayah. ” Pak RT Sampah ”, ” Pak RT
Gila”, ” Pak Kebun Sayur ”, sampai
dijuluki, ”Pak Talok ” karena Ayahku berhasil menghijaukan tanah gersang
pinggir sungai yang sering longsor menjadi tanah ”Hijau” yang ditanami pohon ”
Talok ”. Lamunan Ibu pudar
saat tangan ibu dipegang dengan lembut oleh Ayah.
”
Sudahlah tidak usah kita ungkit-ungkit lagi masa yang lalu. Yang penting kita
petik hikmah dari semua pekerjaan yang kita jalankan. Tak ada keberhasilan
datang sendiri tanpa pengorbanan.” Ayah dan Ibu saling pandang dan tersenyum
memandangi keberhasilan untuk diwariskan kepada anak cucu.”
Bantul,
12 April 2010
Kasihmu Padaku
Kami mengerti saat-saat pelajaran,
kami masih saja bercanda dengan teman
Padahal Engkau telah memulai dengan pelajaran.
Kami tahu ketika materi harus dituntaskan, tapi kami masih berbincang
tentang masa depan yang masih diawan.
Kami paham fatwa-fatwamu menjelang akhir waktu, namun kami masih asyik
menghitung hari yang tak pernah berakhir.
Saat penyesalan itu tiba, kami hanya bisa menangis, meratapi waktu yang
cepat berlalu tanpa kami perhitungkan.
Saat kegundahan telah datang membayang, merobek menghapus semua impian,
memudarkan sebuah arapan dan cita-cita.
Saat kami harus memilih dan menentukan masa depan kami, kami tak mampu
untuk mewujudkan.
Hari ini waktu telah datang dan memenggal kebahagiaan sesaat yang pernah
kami reguk bersamamu
Hari ini telah nyata, waktu yang kami nanti selama tiga tahun,
kenyataan-kenyataan yang tak sesuai
dengan harapan yang telah kami pahat dalam angan, hati, dan cita-cita.
Hari ini betul-betul kami rasakan, betapa kami sangat memerlukan Engkau,
tapi kami tak pernah sadar.
Kami terlambat untuk dapat mengerti, dan penyesalan datang terlambat untuk
dapat mengerti akan nasihatmu.
Kami saat ini menangispun tak dapat mengeluarkan air mata karena waktu
telah memenggal perjalanan kita.
Kami malu untuk memohon bahkan tak punya muka untuk meminta maaf padamu
karena kami tak dapat memenuhi harapan yang Engkau Idamkan.
Beri kami arti dalam segala kesalahan kami, beri kami maaf dalam ketak
patuhan menjalankan fatwamu.
Beri kami kepercayaan sekali lagi, agar kami dapat ringankan langkah kami
meraih cita kami yang belum terjawab.
Beri kami Doa agar tenangkan hati kami dalam mengejar sisa keinginan kami
untuk mewujudkan sepenggal harapan yang masih Engkau tanamkan dalam setiap
fatwamu.
Lembutnya sentuhan sanubarimu masih tersisa dalam relung hati yang paling
dalam.
Kerasnya nyanyianmu setiap hari adalah cemeti yang masih kami jadikan untuk
meraih cita kami.
Tangan-tangan lembutmu telah mendewasakan kami dalam berfikir dan bertindak
untuk mengambil sebuah keputusan yang besar.
Berjuta kata yang menjelma dalam pikiran terbesit satu kata yang indah
untuk kita. ” Terimakasih Bunda, terimakasih Bapak, doa dan maafmu kami harap
dapat menyirami perjalanan mencari makna hidup yang baru saja akan kami mulai ”
Bantul, 24 April 2010
Rr.
Reza Mutiara Pradipta Meikaka
Dalam Antologi Penaku Menari Sendiri
JANGAN MENANGIS AYAH
Praaaaaaaak……………………….
Suara gelas pecah tiba-tiba terdegar di
dapur…………. Lengkingan suara Mama sudah mulai bernyanyi . Lagi-lagi ayahku hanya
tertunduk diam. Ayah tetap memasak membuatkan sarapan untukku dan adiku. Aku
hanya bisa melihat dari kamar sambil memakai baju seragam. “Apa lagi yang
diributkan ! “ kataku dalam hati. Mengapa pertengkaran harus dengan membanting
gelas ? Kata-kata Mama sudah cukup pedas, menyakitkan. Kupandangi wajah Ayahku.
Raut mukanya nampak ada kemarahan yang terpendam. Bibirnya komat-kamit membaca
doa. Aku diam dalam tanya. Aku masih ingat betul dan masih hangat kurasakan
pelukan Ayah, seakan –akan Ayah menjawab pertanyaan dalam hatiku. Dekapan erat
dan belaian tangannya membuatku semakin mengerti tentang Ayah. Satu katapun tak
terucap. Hanya linangan air mata sempat jatuh menimpa pipiku. Aku kaget, tak
percaya, tapi Ayahku tetap berusaha tegar dihadapan anak-anaknya.
Aku semakin tak mengerti. Ayahku tak
pernah berbicara degan anak-anaknya tentang masalah yang sedang dihadapi karena
memang aku masih duduk di SMP, sedang adikku masih di SD. Mungkin aku dan adik
tak boleh tahu gejolak hati yang sedang melanda Ayah. Aku tetap dapat
merasakan, Ayah sudah selalu mengalah, pulang kerja masih harus bekerja lagi
sampai aku tidak tahu sebenarnya pekerjaan Ayah itu Guru atau apalah ? Sering
pertanyaan itu muncul dalam benak hatiku. Kalau Ayah seorang guru mestinya jam
dua sudah pulang, tetapi pulang sebentar masih harus bekerja lagi, katanya cari
uang untuk jajan Adik. Larut malam Ayah masih juga bekerja di depan Leptop
menulis-nulis.
“Biarlah aku tak ingin mengerti apa yang
sedang terjadi.” Kataku dalam hati. Namun
kulihat makin lama ayah semakin berkurang kesehatanya. Malam Sabtu terdengar
suara Ayah membuka pintu kamar degan tergesa-gesa. Ayahku lari ke belakag
mencari sesuatu, Aku belum dapat tidur saat itu. Jam dinding menunjukkan pukul
sebelas malam. Rintihan ayah terdengar sayup-sayup. Aku berusaha bangun
menengok Ayah yang sedang mencari sesuatu. Aku tak berani bertanya. Hanya
kupandangi wajah Ayah menahan rasa sakit yag luar biasa sambil memegangi
pinggangnya. Ternyata ayah menemukan sesuatu yang dicarinya. Kunci ya … kunci
sepeda motor. Diraihnya kunci itu kemudian mengambil motor, dengan tergesa
menyuruhku “ Dik, tolong bukakan pintu garasi, ya!” Aku yang sedang berdiri
memandagi Ayah menahan rasa sakit kemudian berlari membukakan pintu. Ayahku
tergesa menghidupkan motornya dan melaju dengan tergesa-gesa, “ Ayah ke rumah
Sakit, Ya, Dik!”
Aku diam seribu bahasa tak dapat berucap
apa-apa. Hatiku berdoa,” Semoga ayah cepat sembuh.” Suara motor itu menghilag
tak terdengar lagi. Saat aku menutup pintu tiba-tiba Mamaku bangun. “ Ayahmu
mau kemana malam-malam begini?” tanya Mama dengan ketusnya. Hatiku menangis.
mengapa Mama setega itu. Sudah tiap hari Ayah kena marah, dalam keadaan sakit
seperti itu masih juga tidak mau mengerti. Aku berusaha menjawab walaupun dalam
hatiku mau berontak, “ Ke Rumah Sakit.” Tak ada reaksi apa-apa yang
diperlihatkan Mama, Ia langsung masuk kamar lagi sambil berucap,“ Kebiasaan
Ayahmu sakit perut.”
Aku pergi ke kamar mandi ambil air wudlu,
aku kerjakan sholat sambil mendoakan Ayahku semoga cepat sembuh. Kubayangkan
perjalanan Ayahku ke rumah sakit dengan menahan rasa sakit. Aku menangis, “
Mengapa aku tidak ikut mengantar Ayah, bodoh benar diriku !” sambil terus
menangis meratapi penyesalanku. Segara kuraih Hp yang ada di kamar, aku
berpikir Ayah pasti juga bawa Hp. Aku berusaha menghubungi Ayah. Benar
dugaanku. Ayah membawa Hp. Segara aku bertanya tentang kesehatan Ayah. Dengan
nada lembut Ayah bilang, “ Aku tidak apa-apa. Sudah disuntik dan diberi obat,
Ayah segara pulang, Dik!” Lega rasanya hatiku mendengar suara ayahku. Tapi aku
tidak tahu sakit apa sebenarnya yang sedang dirasakan Ayahku. Aku menunggu
tidak bisa tidur. Lama sekali menunggu, akhirnya suara motor itu terdegar, aku
bergegas membukakan pintu. Kupandangi wajah ayahku, air mataku tak tertahan
menetes, kupeluk tubuh ayahku. Ayah hanya membelai rambutku kemudian berucap, “
Adik, Kok, Belum tidur, sayang!” Tangisku semakin menjadi, suara lembut Ayah
membuatku semakin merasakan betapa Ayah sangat sayang padaku.
Motor sudah dimasukkan. Tangan Ayah masih
ku pegang erat. Ku gandeng masuk rumah. Ku lihat jam dinding menunjukkan jam
01.30. Memang sudah larut malam. Lampu ruang Tamu dinyalakan. Ayahku sambil
meghela napas duduk di kursi. Pandangannya menerawang ke angkasa. “ Pasti ada
yang dipikirkan.” Tanyaku dalam hati. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayah.
Tapi aku juga tidak mau bertanya, apa sebenarnya yang sedang dipikirkan. Aku
masuk ke kamar sambil mencium tangan Ayah yang masih duduk di kursi.
Kutulis
seuntai puisi untuk ayah. Kuletakkan
di atas meja kamar ayah. Aku berharap esok pagi ketika ayah bangun mau membaca
puisiku.
Tidurlah Ayah
Kamar itu masih terbuka pintunya
Kulihat ayah tergolek dengan pulas
Dengusan nafasnya lembut
Kupandangi ayah dari pintu kamar
“Tidurlah ayah………………….”
“ Akan aku jaga di sampingmu, agar ayah dapat
melupakan sejenak
Kepenatan dan kesedihan “
“ Tidurlah ayah…………………”
“ Walaupun aku tahu dalam tidurmu masih ayah
simpan sebuah rahasia”
“ walaupuna
aku tahu dalam tidurmu, ayah masih merasakan kesedihan yang mendalam”
Kulihat raut mukanya tenang.
Setenang ketika menghadapi masalahmu
Setenang ayah saat berbicara meyakinkan aku
Tidurlah Ayah…………………………………….
Keseokan harinya ayah bangun seperti
biasa, aku berharap Ayah sudah membaca puisi yang kuletakkan di atas meja.
Sudah menjadi kebiasaan Ayah untuk lebih awal pergi ke Musholla. Habis mengumandangkan Azan subuh yang sudah rutin Ayah lakukan di Musholla, Ayah sholat subuh berjamaah dengan
tetangga, aku juga mengikuti ayah. Seperti biasanya, setelah sholat subuh, ayah
memasak untuk aku dan adikku. Hanya sebentar-sebentar masih kulihat rasa sakit
yang ditahan ayahku. Itu berlangsung berhari-hari. Perkembangan kesehatan
ayahku selalu kuperhatikan, bukan semakin membaik, tetapi terlihat semakin
memburuk hingga suatu hari aku mendapat kabar kalau Ayah masuk rumah sakit
terkena serangan Stroke. Separo badanya tidak bisa digerakkan. Tergesa aku
segera menengok Ayah. Tak peduli degan mengayuh sepeda hadiah pemberian Ayah,
aku bergegas menuju Rumah Sakit “Panembahan Senopati”. Kudapati Ayah ku Tidur
tergolek lemas tidak bisa bergerak. “ Ayah…..!” kataku sambil memeluk tubuh
Ayah. Ayahku hanya bisa menjawab lirih dengan suara yang tidak jelas karena
bibirnya terlihat agak miring sedikit. Aku menangis dipelukan Ayah. Seandainya
aku boleh menjerit, aku akan menjerit sekeras mugkin. Kutahan rasa ibaku pada
Ayah. Kupegangi tangan ayah yang tak dapat digerakkan. Kupijit sambil hatiku
bertanya-tanya.
Setelah sembuh, Ayah pulang ke rumah. Hari-hari
tidak semakin menyenangkan. Ada saja perkara yang bisa menyulut emosi Mama. Aku
tak habis mengerti. Hanya semakin kulihat semangat Ayah semakin berkurang.
Ayahku berusaha tegar. Empat bulan sudah aku merasakan Rumah seperti tidak ada
keharmonisan. Semua serba salah, kata-kata Mama semakin tak dapat dikendalikan.
Ayahku tetap kulihat bersabar. Hingga suatu saat aku mendengar pertengkaran
mereka. Kalimat yang aku belum tahu maknanya, namun masih ku ingat betul. “ Aku
memang sudah tidak bisa apa-apa, sekarang terserah semuanya. Akan kuurus
anak-anak semampu saya!” kata ayah dengan memelas terdengar lirih tapi sangat
jelas. Aku tak tahu maknanya, sampai sekarang tak tahu apa yang sedang terjadi
dengan Ayahku. Suatu saat ketika ayahku
pulang kerja kupeluk erat tubuhnya. “Adik sayang Ayah. Jangan menagis
Ayah. Aku tahu ayah sedang ada masalah, tapi Adik tidak pernah Ayah beritahu.”
Kata-kataku ternyata meluluhkan hati Ayah. Air matanya kembali menetes. Suasana
menjadi heing. Dekapan erat dan ciuman Ayah di keningku, membuatku semakin
mengerti kasih sayag ayah padaku. “ Adik sekolah yang pinter, ya!” ucapan lirih
sambil memandangi wajahku. “ Ya, Ayah. Aku akan membahagiakan Ayah kalau aku
sudah besar dan bekerja nanti!” ucapku sambil menghapus air mata ayah yang
masih ada di pipinya. Pelukan erat dan hangatnya belaian Ayah membuatku semakin
mengerti. Aku akan tahu apa yang di derita Ayah jika aku sudah besar. Kata-kata
ayah itu sampai sekarang masih kusimpan.
BIODATA
Nama :
Rr. Nazauma Nareswara Wulantaka
Tempat, Tgl Lahir : Bantul, 14 September 1995
Alamat :
Manding Rt. 03, Trirenggo, Bantul ( Kode
Pos )55714
Status : Pelajar
Prestasi ;
No |
Jenis |
Hasil |
Keterangan |
Tahun |
1 |
Karya Ilmiah Remaja |
Juara 2 |
Nasional |
2010 |
2 |
Penulisan Cerpen |
Juara 1 |
Kabupaten |
2007 |
3 |
Penulisan Cerpen Remaja |
Juara 1 |
Kabupaten |
2010 |
4 |
Baca Puisi |
Juara 3 |
Kabupaten |
2007 |
5 |
Baca Puisi |
Juara 2 |
DIY |
2003 |
6 |
Wisudawan S1 |
Terbaik/ Cumlaude |
UIN |
2018 |
7 |
Wisudawan S2 |
Terbaik/Cumlaude |
UIN |
2020 |
Hasil Karya
1. Penelitian :
” Persepsi Siswa terhdap Slogan Kampanye Peilkada Kab. Bantul 2010 dari segi geografi, sejarah,
ekonomi, dan Bahasa.
2. Cerpen :
” Penjual Asongan Manding ”
3. Cerpen :
” Sentuhan Tangan Ayah ”
4. Antologi Puisi :
” ” Segenggam Asa ”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar